ARSIP : Selatan-Tengah Kalimantan, Matahari Yang Menyilaukan (Kalimantan Selatan 80an)

by | Aug 13, 2024 | Arsip Berita Lama, Kalimantan

Berikut adalah artikel berjudul Selatan-Tengah Kalimantan, Matahari Yang Menyilaukan yang menceritakan beberapa kota dan daerah di Kalimantan Selatan pada tahun 80an. Tulisan ini dibuat oleh Emji Alif dan muncul di Majalah Gadis Edisi ke-delapan di tahun ke-sepuluh, dengan tanggal 24 Maret 1983.

Kali ini Kalimantan Selatan. Pejalan itu memperhatikan daratan dari balik jendela pesawat terbang. Mungkin dia teringat pada pengalamannya beberapa bulan yang lalu, juga menjelang akan mendarat di Kalimantan. Saat itu pesawat yang sudah menukikkan hidungnya menuju landas pacu Supadio ternyata menggapai langit kembali. Terdengar suara berkerotok di perut pesawat. Roda ternyata tidak keluar dengan mulus.

Kali ini dia berharap semua terkendali. Sementara dataran hitam di bawahnya dengan asap mengepul di sana-sini semakin jelas. Dan dia memang tidak terlampau berharap melihat tegakan kayu hutan raksasa daratan di bawahnya tentunya dataran gambut yang banyak terdapat di muara-muara sungai besar Kalimantan. Mungkin kalau dia masuk lebih ke pedalaman dia akan menemui hutan hijau lebat yang selalu memanggil-manggilnya itu.

Anda sedang membaca Selatan-Tengah Kalimantan, Matahari Yang Menyilaukan (Kalimantan Selatan 80an)

Sangat mendarat dengan mulus. Dari perutnya berjalan penumpang keluar. Bau harum-harum tercium menusuk. Khas Arab. Dan orang-orang banyak menenteng bawaan. Yang nampak jelas: gulungan permadani. Mereka rupanya baru kembali dari Mekah tanah suci. Dan pejalan itu melihat seorang, mungkin juga tiga orang bocah kecil – belum berumur 10 tahun – dengan sorban haji di kepalanya. Saat itu dia berpikir Kapan pula dia punya kesempatan untuk bepergian ke tempat suci itu dan sama-sama berseru: Allahu Akbar!

Baca juga: Koto Gadang, Kampung Orang-Orang Terkemuka

Tapi rombongan yang berjalan itu dengan sekian banyak barang bawaan, telah membuat pejalan itu harus menerima nasib. Ranselnya tidak dibawa oleh pesawat karena tidak ada lagi tempat yang tersedia. Meski ini bukanlah pengalaman yang pertama baginya, pejalan itu meruntuk juga dalam hati. Seandainya Garuda memberitahu sebelumnya, dia bisa mengambil selembar dua lembar baju serta surat-surat penting yang ada di ransel itu. Dengan demikian kegiatannya tidak perlu tersendat-sendat.

Banjarmasin

Banjarmasin dengan segera mengingatkan pejalan itu kepada Kota Pontianak. Bahkan tempat dia menginap suasananya tak berbeda dengan tempat menginap di Pontianak. Ada sebuah sungai kecil mengalir di sisi jalan. di sana nampak sampan-sampan menyelusuk diantara tiang-tiang jembatan. Di sana pula nampak berjejer orang mandi dan mencuci baju. Tak jelas, dengan air semacam itu -keruh dan bercampur sampah- orang atau baju bisa menjadi lebih bersih.

Tapi berbeda dengan Pontianak dan Samarinda yang masing-masing dibelah oleh sungai besar, maka Sungai Barito hanya mengalir di sisi kota. yang berputar di kota hanya sungai-sungai kecil saja, sehingga tidak perlu dibangun jembatan raksasa seperti di kedua ibukota provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.

Kota Niaga

Dan seperti banyak ibukota provinsi lainnya, yang menonjol karena menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan, Banjarmasin memang nampak sibuk. Apalagi dalam sektor perdagangan dia juga menjadi pusat lalu lintas barang untuk Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Jadi tak heran kalau yang menjadi pusat kota adalah kegalauan pasar yang menjual aneka macam barang. Dan untuk berdagang nampaknya orang Banjar, apalagi yang dari Alabio, memang terkenal ulet. Merekalah yang mendominasi sebagian besar petak toko.

Baca juga: Imbauan Ibu Rudini Di Kendari dan Manado

Tapi untuk tempat berdarmawisata, rasanya tak banyak yang bisa diharap dari kota ini. Tak banyak tempat bersejarah yang disiapkan untuk dijual. Kecuali kalau kepingin melancar di sungai yang dipenuhi aneka model angkutan. Dari speed boat yang melaju kencang sampai klotok yang tengah-tengah menarik beban berat seolah tidak bergerak.

Kalau pun ada yang nampak menawan di tepi sungai yang keruh dan riuh itu adalah Masjid Raya Banjarmasin. Dia memang nampak Anggun berdiri di halaman yang luas. Jika senja tiba dan sinar jingga memantul di sungai, sampan dan perahu yang bergerak akan nampak sebagai siluet, sementara menggema di udara azan maghrib.

Transportasi Banjarmasin

Saat itu adalah akhir musim kemarau. Matahari amat garang bersinar. Pejalan itu memang tak punya mobil untuk menjalankan tugasnya. Karena taksi sulit dan angkutan kota seperti mikrolet tak jelas arahnya, terpaksa dia naik ojek. Dengan ini dia pergi ke mana-mana, karena objek memang tersedia di mana saja. Lihat saja anak muda -ada juga yang setengah tua- memakai topi dan kacamata hitam mengendarai motor, itu pasti ojek yang bersedia mengantar kita ke mana saja di Banjarmasin jika bayarannya cocok. Dan pejalan itu pun tersenyum. Bagaimana kalau dia mau mengajak teman cewek nonton? Masa masing-masing naik ojek, enggak mesra dong.

Tapi untunglah dia memang tak mengajak cewek nonton atau kemanapun. Dia menyimpulkan diri dengan kegiatannya untuk terus bergerak ke arah hulu sungai. Pejalan itu memang bukan seorang turis yang bisa leha-leha. Dia harus bekerja jika masih ingin terus berjalan. Dan celakanya dia selalu ingin berjalan ke mana saja.

Anda sedang membaca Selatan-Tengah Kalimantan, Matahari Yang Menyilaukan (Kalimantan Selatan 80an)

Banjarbaru

ini adalah kota satelitnya Banjarmasin. Teduh dan teratur. Kota ini sesungguhnya cukup layak – seperti yang direncanakan – sebagai kota pemerintahan dan pendidikan, walaupun rencana itu tidak sepenuhnya menjadi kenyataan. Hanya beberapa dinas dan kanwil yang berkantor di sini. Demikian juga gedung yang di desain untuk Kantor Gubernur ternyata hanya diisi dengan kegiatan staf. Pejabat nampaknya masih lebih senang berkantor di Banjarmasin yang lebih hidup sebagai Kota dagang. Sementara Banjarbaru yang lebih teduh, teratur dan mungil nampaknya memang tak banyak menjanjikan apa-apa dari sudut niaga.

Baca juga: Lagi, Sebuah Partikel Mozaik Budaya Berdiri di Agats

Hal yang sama tercermin pula di bidang pendidikan. Mulanya Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat mempunyai kampus di Banjarbaru. Tetapi karena para dosennya disibukkan dengan kegiatan di ibukota provinsi maka hijrahlah mahasiswa Fakultas Teknik ke Banjarmasin. Hanya tinggal beberapa fakultas saja seperti pertanian dan kehutanan yang bertahan di Banjarbaru. Sementara kampusnya sendiri sesungguhnya menjanjikan banyak harapan. Dibangun di atas tanah yang luas, seandainya dipenuhi dengan pepohonan yang rindang tentunya akan terasa teduh dan menyenangkan. Sayang pepohonan hijau itu masih belum nampak. Masih banyak rumputan dan padang alang-alang yang menyita pemandangan di sekitar kampus. Padahal suasana lingkungan di sekitarnya yang jauh dari kebisingan, amat tenang, sesungguhnya amat ideal untuk menuntut ilmu. Pejalan itu tentu saja teringat pada kampusnya di Salemba, suatu tempat yang bising, bahkan menurut catatan adalah suatu tempat dengan tingkat polusi udara yang amat tinggi di ibukota. Hai, keteduhan sesungguhnya lebih merangsang imaji-imaji yang segar. Begitu kan seharusnya?

Minggu Raya

Bagi pejalan itu Banjarbaru memang terasa lebih akrab. Dia selamanya menyenangi keteduhan semacam itu. Kota yang tak terlampau ramai dan nampaknya disusun cukup baik. Nampak taman-taman kota, pohon pinus yang menghutan, dan ketika malam tiba dia bisa nongkrong menghabiskan malam sambil bercerita panjang tentang apa saja di warung-warung yang serupa “pasar kaget” di ibukota.

Tempat itu dinamakan Minggu Raya. Tak jelas betul Kenapa disebut seperti itu. Mungkin dulu-dulunya sebagai tempat kegiatan seperti pertunjukan rakyat di hari Minggu. Yang pasti sekarang lokasi itu setiap malam dipenuhi penjaja makanan. Macam-macam jenis jajanan yang dijual. Seperti ketupat dan soto banjar yang nampaknya memang tradisional, sate sampai jamu kuat khas Kalimantan.

Kekhasan tempat ini adalah karena seluruh penjual makanan itu adalah gadis-gadis, walaupun tentu saja tak jelas pernah menikah atau belum. Tapi yang pasti itu adalah suatu daya tarik tersendiri. Dan pejalan itu tersenyum melihat seorang gadis nampak Sedang sibuk mematut-matut dirinya di kaca, bersisir, sementara di sebelahnya seorang gadis lainnya sibuk dengan penggorengan.

Anda sedang membaca Selatan-Tengah Kalimantan, Matahari Yang Menyilaukan (Kalimantan Selatan 80an)

Dan pasar inilah yang menghidupkan Banjarbaru di kala malam. Dengan dua bioskop yang tak bisa dibilang baik, tentu saja hiburan amat terbatas. Orang-orang biasanya nongkrong saja di pasar ini. Apalagi supir-supir yang bergerak malam dari atau menuju ke hulu sungai di bagian utara pasti menyempatkan diri mampir di tempat ini.

Menurut cerita, gadis-gadis penjual makanan itu sebagian besar berasal dari daerah Kabupaten Hulu Sungai. dengan berjualan Seperti ini tak jarang jodoh pun terangkai. Apalagi sebagai Kota yang banyak mempunyai kantor dinas, maka karyawan bujangan bisa saja terpincut dan jatuh cinta pada mereka. Bukankah cinta itu bisa dimulai dari perut untuk terus ke hati?

Museum Kebudayaan

Di Banjarbaru terdapat pula sebuah gedung megah dari beton. Melihat bangunan semegah itu, ke jalan itu tentu saja berharap banyak dalam hati. Dia berharap bisa membuka hati dan memasukkan pengetahuan lebih banyak lagi ke dalamnya. Ternyata apa yang diharapkannya itu tak sepenuhnya tercapai. Gedung megah yang direncanakan sebagai Museum Kebudayaan Kalimantan Selatan terasa hambar. Mungkin karena isinya tak sepadan dengan gedungnya yang megah itu. Seperti mencicipi ayam kecil dalam bungkus besar. Begitulah. Dalam gedung itu nampak beberapa kerajinan rakyat serta benda-benda budaya dari Kalimantan Selatan. Tapi semua itu seolah hanya sebagai hiasan. Tak merebut tempatnya yang lebih utama. Berbeda dengan gedungnya yang terasa demikian megah dibanding lingkungan sekitarnya.

Anda sedang membaca Selatan-Tengah Kalimantan, Matahari Yang Menyilaukan (Kalimantan Selatan 80an)

Martapura

Kota ini juga disebut sebagai Kota Intan. Suatu julukan yang tak sepenuhnya tepat. Sebagai Kota tempat orang berdagang intan memang bolehlah. Pasar memang dipenuhi toko yang menjual intan dan batuan berharga lainnya. Tetapi tempat penghasil intan sesungguhnya bukanlah di Martapura, melainkan di Bangkal dan Cempaka.

Mungkin Martapura lebih baik disebut sebagai kota baru. Sebab aneka macam batuan, setelah diasah menjadi cantik kemudian dipajang di etalase toko demi toko. Ada saphir, pirus, serta kecubung. Dan harganya tentu saja bermacam-macam. dari lima sampai ratusan ribu rupiah.

Baca juga: Jalan Panjang Kapitalisme Deng Xiao Ping

Sejenis hiasan nampak dibuat orang dari batu. Mulai dari kalung, gelang, anting-anting, asbak, dan hiasan dinding nampak dijajakan. Sementara beberapa orang nampak berbisik-bisik menunjukkan kecubung dari jenis yang hebat dan berkhasiat. Aih. Pejalan itu cuma melihat-lihat saja batu-batuan itu rasanya amat asing untuknya, dan rasanya terlampau musykil untuk ditukar dengan uang sekian ratus ribu rupiah.

Di kota kecil ibukota Kabupaten Banjar ini memang tak banyak yang bisa dilakukan. Bagi pecinta batu mulia mungkin dia akan terasa menarik. Tapi pejalan itu tak betah lama-lama di kota ini. Dia hanya mengurus pekerjaannya. sesudah semuanya itu selesai dia segera pergi.

Anda sedang membaca Selatan-Tengah Kalimantan, Matahari Yang Menyilaukan (Kalimantan Selatan 80an)

Mandi Angin

Pejalan itu melakukan survei di tempat ini. Tapi dia masih menyempatkan diri untuk memanjat bukit-bukit itu. Dan udara yang panas dengan segera membuatnya gerah. Apalagi jalan mendaki. Tapi dia tahu akhirnya sampai juga di pesanggrahan peninggalan Belanda. Dan kembali pemandangan serupa ditemuinya. Pesanggrahan ini tinggal puing-puing saja. Di beberapa tempat nampak dibongkar dan digali orang. Mungkin mereka bermimpi tentang harta karun. Dan peninggalan ini pun jadi porak-poranda.

Selimut Ilalang. Pegunungan Meratus yang menyilaukan (DOK. Majalah GADIS)
Selimut Ilalang. Pegunungan Meratus yang menyilaukan (DOK. Majalah GADIS)

Udara yang panas ini memang terasa menyilaukan. Tapi yang lebih terasa menyilaukan adalah jejeran bukit-bukit gundul yang kehilangan hutan penutupnya. Inilah jajaran Pegunungan Meratus. Sungguh menghibakan nampaknya. Sebab selimut tebal padang alang-alang memang nampak indah dari kejauhan. Tapi apakah selimut itu sanggup menghisap air hujan yang turun deras di musimnya seperti yang biasa dilakukan oleh pepohonan?

Baca juga: Kyai Joyolalono (Djojolelono), Bupati Pertama Probolinggo

Pekerjaan survei seperti ini memang bukan tugas pertama baginya. Meskipun kadang terasa menjenuhkan karena pertanyaan yang itu itu juga dan jawaban yang itu itu juga -hampir bisa diduga- toh itu harus dilaksanakan semuanya sebaik mungkin. Dan dia bersyukur semuanya itu berjalan lancar. Di tempat-tempat seperti itu dia selalu memperoleh teman-teman baru yang hangat dan siap untuk membantu.

Kisah Keluarga dari Mandi Angin (Part 1)

Di antara pertanyaan rutin yang dicatatnya, jalan itu juga mengingat dalam hal-hal yang menyentuh perasaan. Dan itu biasanya tentang duka. Begini kejadiannya:

Seorang Jawa yang terjepit di tempat asalnya biasanya akan ulet bekerja di tempatnya yang baru. Seperti itulah yang terjadi di Mandi Angin. Sebuah keluarga Jawa dengan keuletannya berhasil hidup cukup di sekitar lingkungannya. Mereka mempunyai ladang yang lumayan luasnya, beberapa ekor sapi dan juga sebuah perusahaan kecil pembuatan batu bata.

Dan hidup mereka berangsur menjadi lebih baik walaupun itu ternyata tidak kekal. Sang bapak, dengan kelebihan yang mulai dimilikinya, mulai sering kembali ke Jawa, setidaknya untuk memperlihatkan bahwa dia telah sukses di tanah seberang. Ini adalah suatu kebanggaan seusai kerja keras, kebanggaan yang manusiawi tentu saja.

Anda sedang membaca Selatan-Tengah Kalimantan, Matahari Yang Menyilaukan (Kalimantan Selatan 80an)

Kisah Keluarga dari Mandi Angin (Part 2)

Tetapi yang kemudian terjadi lebih dari itu. Sering pulang ke Jawa sama bapak ternyata terpincuk pada seorang perempuan lain. Kalau sudah begini biasanya yang terjadi memang malapetaka. Si bapak mulai berpikir angin-anginan. Sapi-sapi mulai dijualnya. Perusahaan batu bata tak lagi berfungsi Karena dia sudah lebih banyak di Jawa bersama istri barunya. Dan yang paling celaka dia pun bermaksud menjual tanahnya yang di Mandi Angin.

Si Ibu yang malang bertahan mati-matian. Hanya tanahlah tumpuan harapannya dengan seorang putrinya. Dan untunglah, meskipun melewati perebutan dan birokrasi yang melelahkan, dia masih bisa tetap bertahan di tanahnya. Dan dimulailah kerja keras yang tak berkeputusan itu. Ibu yang nampaknya cepat sekali tua karena kerja keras yang tak putus-putusnya, bersama seorang putrinya mengolah ladang yang terbakar matahari. Dan gadis kecil itu mungkin seusiamu, memang tak punya pilihan lain. Mereka harus bekerja keras jika masih ingin bertahan. Dan, Mereka mencangkul di tanah yang keras, menanam padi gogo dan palawija, dan si gadis harus pula menggembalakan sapi milik kepala kampung dengan harapan bisa memperoleh hasil parohan. Serta, Mereka harus memulainya dari awal kembali. Dengan kerja keras dan air mata. Sementara Sang Bapak?

Mungkin itulah dunia. Penuh dengan hal tak terduga. Sementara pejalan hanya bisa mencatatnya dalam hati.

Berkemah di Mandi Angin

Dan ketika malam minggu tiba, pejalan itu ikut bergabung dengan serombongan pelajar SMP 1 Pleihari. Mereka berbincang apa saja. Sementara dalam hati pejalan itu berpikir. Mandi Angin bukanlah suatu tempat yang bisa dengan cepat menarik minat untuk berkemah. Air yang ada terbatas, pepohonan tak menjanjikan banyak keteduhan. Namun toh tempat ini didatangi banyak orang. tak ada lagi kah tempat yang teduh di sekitar daerah ini?

Pengurasan habis-habisan. Setelah pohon, batu, dan pasir pun digali (DOK Majalah Gadis)
Pengurasan habis-habisan. Setelah pohon, batu, dan pasir pun digali (DOK Majalah Gadis)

Keesokan harinya dari tempatnya menginap, pejalan itu kembali ke areal perkemahan. Melihat sampah dan bekas buangan berceceran di situ, pejalan itu menjadi terenyuh. Sewaktu mereka datang, sampah-sampah itu belum ada di sana. Ketika pergi, kenapa mereka tidak memulihkan tempat itu seperti semula?

Baca juga: Seri Hamengkubuwono IX Wafat, Di Seputar Wasiat Takhta Yogya

Mungkin kesadaran seperti itulah yang harus ditumbuhkan. Seringkali kita pergi ke alam bebas yang tenang dan teduh. Dan ini semakin banyak saja dilakukan setelah kota demi kota terasa semakin panas dan bising. Alam yang sejuk dan ramah itu sudah menjadi suatu kerinduan. Tapi kerinduan akan terasa sia-sia jika alam bebas itu sendiri sudah menjadi kotor dan tercemar. Jika tempat yang teduh itu sudah menjadi tempat pembuangan sampah, apalagi yang bisa diharap?

Sementara Indian di Amerika berpikir seperti ini: I stand in good relation to the earth, I stand in good relation to the gods, I stand in good relation to all that is beautiful, I stand in good relation to you. I am alive.

Anda sedang membaca Selatan-Tengah Kalimantan, Matahari Yang Menyilaukan (Kalimantan Selatan 80an)

Riam Kanan

Keteduhan nampaknya banyak dikejar orang. Bentuknya mungkin suatu darmawisata yang banyak dilakukan keluarga demi keluarga. Banyak juga yang berkemah, yang bertualang ke tempat-tempat yang sunyi. Apapun bentuknya semuanya itu menunjukkan bahwa kehidupan yang rutin itu selalu menimbulkan kebosanan.

Pejalan itu bergabung dengan serombongan muda-mudi dari Bendungan Riam Kanan terus ke hutan pinus reboisasi. Di atas klotok yang berbunyi monoton, dia bisa melihat betapa banyaknya air bendungan itu susut. Sementara di sekitarnya bukit-bukit gundul semata. Panas matahari yang bersinar saat itu sungguh terasa menyilaukan.

Baca juga: Fakta-Fakta Kabupaten Sragen, Bumi Sukowati Tempat Awal Diyakini Manusia Jawa Berasal

Monumen hampa. Pekan penghijauan yang tak juga membuat hijau (DOK Majalah Gadis)
Monumen hampa. Pekan penghijauan yang tak juga membuat hijau (DOK Majalah Gadis)

Hutan pinus reboisasi sekitar setengah jam naik klotok, sudah dipenuhi orang. Baik muda-mudi maupun keluarga demi keluarga. Hutan percobaan yang tak begitu luas ini -tak ada apa-apanya dibanding Kebun Raya Bogor dan Cibodas- ternyata mampu menarik orang dari Banjarmasin, Banjarbaru, Martapura, dan Pleihari. Sungguh. Pejalan itu bisa merasakan betapa hutan nampaknya sudah menjadi barang langka bagi Kalimantan Selatan.

Kelangkaan hutan ini memang nampak jelas sepanjang jalan menuju Riam Kanan. Bahkan daerah tadah hujan bendungan ini tak menjanjikan terlampau baik. Bukit-bukit itu nampak cuma ditutupi selimut hijau alang-alang.

Alam dan Ketahanan Energi Kalimantan Selatan

Akibatnya tentu saja dengan segera bisa dirasakan. Dalam musim kemarau saat seperti itu, muka air Bendungan turun drastis dan tidak cukup lagi untuk memutar ketiga turbin yang ada. Akibatnya listrik menjadi byar-pet. Saat itu di Banjarmasin dan Banjarbaru terjadi giliran lampu mati, masing-masing kawasan di kedua kota itu hanya bisa menghidupkan lampu semalam dan dua malam berikutnya mati. Berganti-ganti. Cukup repot.

Dalam keadaan semacam itu, Abby -seorang pecinta alam- menulis di surat pembaca Harian Banjarmasin Post. Dia menghimbau masyarakat Kalimantan Selatan agar mengambil hikmah dari pemadaman lampu secara bergilir itu. Dia berharap agar hutan yang ada bisa dijaga kelestariannya dan yang rusak segera diperbaiki dengan penanaman kembali. Dengan demikian mungkin akan lebih banyak tersedia harapan.

Nampaknya memang begitu seharusnya. Walau itu tentu saja tidak mudah. Para pecinta alam sudah mencoba ikut melakukan penanaman kembali di daerah reboisasi yang gagal. Dan itu pun masih banyak yang harus dikerjakan. Dan juga yang harus diberi pengertian adalah para pengelola tanah di bukit-bukit. Mereka cenderung tidak tahu akan bahaya yang terjadi dengan pengolahan tanah di lereng-lereng yang curam. ini seharusnya segera ditembus dengan penyuluhan. Mungkin di sini para pecinta alam bisa berperan lebih nyata lagi.

Kerusakan Tanah

Kini hutan pinus percobaan yang tak seberapa luas memang terasa keteduhan yang pernah luput itu. Dan orang-orang ramai-ramai memenuhinya. Sementara di depan mata air danau memantulkan cahaya matahari yang menyilaukan. Selalu begitu. Dalam panas yang menggigit orang selalu akan teringat pada pepohonan yang teduh dan semilir angin yang bertiup diantaranya. Selalu begitu. Tapi kenapa pohon-pohon itu terus juga bertumbangan?

Pejalan itu teringat pada sebuah penelitian yang pernah dibacanya. Penelitian itu mengambil tempat di Kalimantan Timur dan membuat kesimpulan. Kenapa di suatu tempat lahan yang ada cepat rusak. Kerusakan itu terjadi karena pemakaian lahan secara intensif untuk mengejar hasil, sesuai dengan tingkat kebutuhan yang semakin tinggi. Akibatnya lahan yang ada tak bisa memulihkan dirinya sendiri dan kian lama semakin kurus dan cuma cocok sebagai khasanah alang-alang. Tingkat kebutuhan yang kian meninggi inilah yang menyebabkan lahan tak bisa beristirahat dan terus dipaksa berproduksi sehingga akhirnya menjadi kolaps.

Dia memang membaca beberapa buku tentang hal itu. Bahwa keinginan yang tak pernah puas memang berbahaya untuk lingkungan hidup. Lihat saja para pemilik HPH (hak pengusahaan hutan -prntl), kan karena keinginan menjadi kian kaya maka penanaman kembali menjadi tersendat-sendat. Seandainya kita bisa menahan diri pada batas yang pas. Aih, sulit memang untuk merem sekian banyak keinginan.

Anda sedang membaca Selatan-Tengah Kalimantan, Matahari Yang Menyilaukan (Kalimantan Selatan 80an)

Pendulangan Intan

Pejalan itu memang selamanya ingin tahu tentang banyak hal dari daerah-daerah yang dikunjunginya. Dan Kalaupun dia pergi ke tempat orang mencari intan, tentu saja dia tak berpikir untuk memborong intan dan menjualnya kembali. Dia cuma kepingin tahu.

Cara Menggali Intan

Banyak tempat di daerah ini yang menyimpan biji-biji intan. Macam-macam pula cara menggalinya. Dan tempat tersohor untuk pendulangan intan adalah di Cempaka dan Bangkal. Di tempat itu banyak galian dilakukan. Baik secara “tambang permukaan” atau secara “tambang dalam”.

Untuk tambang dalam di galilah tanah sampai kedalaman tertentu yang diperkirakan mengandung endapan intan. Tanah dan lumpur di bagian itu kemudian dikuras dan diangkat naik. Itulah yang kemudian diayak dan didulang untuk didapat biji intannya.

Baca juga: 9 Hal Yang Orang Indonesia Harus Mulai Belajar

Lubang-lubang tambang ini cukup dalam dan seringkali berliku-liku. Orang-orang yang bekerja itu tentu saja harus menduga-duga di mana biji Intan banyak terdapat. Dan tak jarang meskipun penggalian sudah dilakukan ternyata tak ditemukan sebiji intan pun. Kalau sudah begini jelas sudah kalau para penggali akan bangkrut. Sia-sia.

Kegiatan di pendulangan intan di Kalimantan Selatan, kalau perlu di tepi jalan raya (DOK Majalah Gadis)
Kegiatan di pendulangan, kalau perlu di tepi jalan raya (DOK Majalah Gadis)

Cara-cara menentukan lubang yang banyak mengandung biji Intan memang macam-macam. Ada orang yang berpuasa sekian lama. Ada yang mencoba membaca tanda-tanda alam. Semuanya memang diolah secara tradisional. Dan tempat-tempat penggalian memang kadangkala tak terduga. Bisa saja suatu penggalian dilakukan di pinggir jalan raya yang relatif cukup ramai dilewati orang. Itu kalau diduga di tempat itu memang terdapat biji Intan.

Mendulang Intan

Biasanya dalam suatu areal bekerja beberapa rombongan yang menggali lubang sendiri-sendiri. Mereka hanya berpatungan dalam membawa mesin pompa air dari tanah yang juga digunakan untuk mendulang. Sekian banyak rombongan penggali masing-masing bekerja untuk kalian mereka masing-masing. Dari setiap lubang dikeluarkan tumpukan lumpur setiap harinya. Tumpukan lumpur ini kemudian didulang dengan sebuah alat penapis di air. Lumpur dan tanah akan terbuang dan kalau ada tinggal butir-butir Intan yang tertahan di dulang.

Para pekerja itu nampaknya sudah berpengalaman. Tumpukan lumpur itu dengan cepat mereka ayak di air dan dengan cepat sekali menghilang. Memang tidak setiap kali mengayak bisa tertahan butir-butir Intan yang mereka dambakan itu. Dari satu tumpukan besar lumpur yang diangkat dari lubang kadang cuma satu dua butir kecil Intan yang diperoleh, atau kalau lagi sial tak ada sebutir pun.

Butir Intan yang diperoleh dari setiap lubang biasanya dibagi adil di antara setiap pekerja setelah dipotong sewa pompa air. Masing-masing berhak atas satu bagian, demikian pula si pemilik tanah juga berhak atas satu bagian dari setiap lubang. Jadi meskipun cuma leha-leha si pemilik tanah tetap memperoleh satu bagian dari hasil yang diperoleh dari setiap lubang.

Anda sedang membaca Selatan-Tengah Kalimantan, Matahari Yang Menyilaukan (Kalimantan Selatan 80an)

Betapa Berharganya Intan

Laki-laki dan perempuan bekerja sama dalam penggalian intan. Terus dibakar terik matahari, kulit mereka segera terpanggang menjadi hitam. Dan mereka berendam di air pendulangan yang keruh sepanjang hari, menapis dan mengayak, sambil berharap butir-butir intan yang cantik dan menggiurkan itu bisa tertahan di alat pendulangan mereka.

Kalau cukup banyak intan yang mereka peroleh tentunya mereka bisa sedikit tersenyum. Kerja pendulangan ini membutuhkan biaya yang tak sedikit, dan kerja keras. Jadi tentu saja mereka mengharapkan hasil yang baik. Dan mungkin karena itu Intan berharga cukup mahal. Dari sebuah lubang hari itu telah bergaris sekitar 11 butir kecil Intan, dan mereka menawarkan kepada pejalan itu, “cuma” delapan ratus ribu rupiah saja!

Pejalan itu kembali cuma tersenyum. dia memang tak tahu banyak tentang hal itu. Intan memang punya jenis masing-masing. Ada yang baik dan amat mahal harganya. Ada yang sedang-sedang saja. Yang pasti Intan yang baru diangkat dari lubangnya itu memang belum diasah, dan dengan demikian tentu saja belum jelas terlihat sinarnya yang mencorong itu. Mungkin orang yang sudah berpengalaman dengan Intan lah yang dengan cepat bisa mengetahui mana jenis yang baik.

Baca juga: Jalan Tol Seharusnya Bukan Singkatan Dari “Tax On Location”

Yang pasti berjalan itu sering kali merasa kagum. Di daerah ini memang mudah untuk melihat kaum wanita bahkan ada juga kaum pria yang penuh dihiasi emas dan intan. Dengan emas dan intan yang bergelantungan seperti itu, pejalan teringat lagi pada kotanya. Di Jakarta, tidakkah hal ini akan membangkitkan semangat yang berdiam di dada tukang copet dan penjambret?

Pejalan itu menyelesaikan tugas-tugasnya di daerah Kabupaten Banjar dengan beberapa catatan di buku hariannya. Dan sebagian diantaranya sudah kalian baca. Sampai jumpa di catatan berikutnya.

Anda sedang membaca Selatan-Tengah Kalimantan, Matahari Yang Menyilaukan (Kalimantan Selatan 80an)

Terima kasih sudah membaca artikel Selatan-Tengah Kalimantan, Matahari Yang Menyilaukan yang menceritakan Kalimantan Selatan di tahun 80an di Printilan.com. Baca juga artikel arsip berita lama hanya di Printilan.com.

Printilan.com adalah situs web berisi informasi mengenai topik-topik seperti daerah, politik, negara, sejarah, transportasi, dan hiburan. Kami juga menampilkan arsip-arsip berita di masa lalu agar jadi jembatan wawasan bagi masa sekarang.

Info Transportasi

Transpotasi Umum

TJ •  MRT •  LRT Jakarta •  LRT Bekasi •  LRT Cibubur

KRL Commuter

Cikarang •  Bogor •  Rangkasbitung •  Tangerang  •  Tanjung Priok •  Solo-Jogja  •  Jogja-Solo

Kereta Api Jarak Jauh

A

Airlangga  Ambarawa Ekspres  Argo Bromo AnggrekArgo CheribonArgo DwipanggaArgo LawuArgo MerbabuArgo MuriaArgo ParahyanganArgo SemeruArgo SindoroArgo Wilis

B

Bangunkarta • Banyubiru • Baturraden EkspresBengawan  BimaBlambangan Ekspres • Blora Jaya  Bogowonto • Brantas • Brawijaya

C-F

Cikuray  Ciremai • Dharmawangsa • Fajar Utama Solo • Fajar Utama Yogyakarta

G-H

Gajahwong • GajayanaGayabaru Malam Selatan • Gumarang • Harina

J

Jaka Tingkir  Jayabaya • Jayakarta  Joglosemarkerto

K-L

Kahuripan  Kaligung • Kamandaka • Kertajaya  Kertanegara • Kutojaya Selatan  Kutojaya Utara • Lodaya • Logawa

M

Majapahit  Malabar • Malioboro Ekspres • ManahanMataram • Matarmaja  Menoreh • Mutiara Selatan • Mutiara Timur

P

PandalunganPangandaran • Pangrango • Papandayan • Pasundan  Probowangi • Progo • Purwojaya

R-S

RanggajatiSancaka • Sawunggalih • SembraniSenja Utama Solo • Senja Utama YogyakartaSerayu  Singasari • Sritanjung  

T-W

TaksakaTawangalun • Tawang Jaya • Tegal Bahari • Turangga • Wijayakusuma 

Fakta Daerah

Aceh • Sumut • Sumbar • Riau • Jambi • Bengkulu • Sumsel • Lampung • Kepri • Babel • Banten • DKJ • Jabar • Jateng • DIY • Jatim • Bali • NTB • NTT • Kalbar • Kalteng • Kalsel • Kaltim • Kaltara • Sulut • Sulsel • Sulteng • Sulbar • Sultra • Gorontalo • Malut • Maluku • Papua • Pabar • PBD • Pateng • Papeg • Pasel