Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang merupakan Raja Yogyakarta di era Perang Kemerdekaan dan Wakil Presiden Indonesia, wafat atau mangkat pada tahun 1988. Artikelnya muncul dalam laporan utama Majalah Tempo dengan judul asli Barangkali Keris Itu Tak Perlu Lagi. Berikut tulisan selengkapnya:
Dalam sejarahnya Jawa tak pernah mengenal masa damai sejak Majapahit jatuh di abad ke-14, sampai Mataram pecah, dan Hamengkubuwono I bertakhta. Persoalan suksesi telah menimbulkan perang dan kekerasan. Kini mungkin tak ada keris yang diperlukan.
Tiga Hamengkubuwono semuanya wafat di bulan Oktober, tapi ketiganya berbeda dalam memilih pengganti. Hamengkubuwono I, yang mangkat dalam usia di atas 70-an sudah lama menyiapkan seorang putra mahkota. HB VIII tak tampak mempersiapkan apa-apa, tapi tiga hari sebelum wafat dalam usia 61 tahun – setelah bertahta sekitar 18 tahun – ia menyerahkan tanda pergantian kekuasaan keris pusaka Kiai Joko Piturun kepada putranya yang kelak bergelar HB IX.
HB IX, wafat 3 Oktober lalu lain lagi. Selain tak menunjuk putra mahkota, ia juga tak menyerahkan Kiai Joko Piturun kepada siapapun.
Ada cerita bahwa sudah lama Sri Sultan berniat mengundurkan diri. Katanya ia ingin beristirahat di Kedaton Shwarna Bumi di Bogor, dengan gelar Ki Ageng Sepuh, gelar yang dipilihnya sendiri.
Dan mungkin Sultan punya alasan untuk tidak menyerahkan Kiai Joko Piturun kepada salah seorang pangeran putranya, karena ia tak punya permaisuri. Kelima istri dan 22 anaknya – 14 diantaranya lelaki – dianggapnya sama. Kesimpulan Ki Juru Permono yang dianggap sebagai “penasehat spiritual” Sri Sultan, itu beliau berusaha bersikap adil.
Baca juga : Di Seputar Wasiat Takhta Yogya
Menurut Ki Juru Permono, keris Kiai Joko Piturun mungkin sudah mukso, menghilang, menjelma dalam wujud yang lain. Sebab tiga hari sebelum Sri Sultan wafat pada pukul 02.30 dini hari, Ki Juru menerima apa yang dianggapnya semacam wangsit. Seorang berpakaian Kesatria Mataram di hari itu datang kepadanya dan berkata “Upayakno Kiai Joko Piturun” (Usahakan mencari Joko Piturun).
Ki Juru kaget sebab keris pusaka itu masih disimpan di Keraton. “Jangan-jangan Kiai Joko Piturun sudah mukso”, pikirnya waktu itu sebagaimana dipisahkan kembali kepada Tempo. Akhirnya Ki Juru yang kini 70 tahun itu menafsirkan mukso nya Kiai Joko Piturun sesuai dengan tuntutan zaman, katanya. Musyawarah keluarga yang akan memutuskan calon pengganti Ngarso Dalem, ditambah nasihat pemerintah pusat dan DPRD. Siapa yang terpilih dialah yang akan menerima Kiai Joko Piturun.
Di zaman dahulu suksesi di Mataram tentu saja berbeda. Semuanya ditentukan oleh sang raja yang masih berkuasa. Tapi karena tak ada tradisi bahwa anak lelaki tertua yang otomatis jadi pengganti, seperti tradisi Eropa, akhirnya lebih sering bergantian kepemimpinan itu disertai cekcok kalau perlu pembunuhan dan perang.
Di masa Mataram persoalan takhta mulai menajam dengan kekerasan setelah wafatnya Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Ia dikenal sebagai Raja Mataram terbesar. Ia berhasil memperluas daerah kekuasaannya, tapi juga menindas para bupati di pesisir utara pulau Jawa seperti Pati dan Surabaya. Ia tak segan-segan memindahkan penduduk atau siapa saja yang dianggapnya berbahaya. Di masa pemerintahannya lah muncul pemberontakan Pesantren Perapen pada 1636, di bawah pimpinan Sunan Giri Perapen.
Prestasinya yang terbesar ialah penyerbuan ke Batavia (1628-1629), sampai 3 kali, meski tak berhasil. Peninggalannya yang bertahan, ia membangun mausoleum di Bukit Imogiri.
Tapi keturunannya tak cukup bisa menampung warisan yang dibesarkan dengan perang itu. Pengganti Sultan Agung, yaitu putra sulungnya, yang kemudian bergelar Amangkurat I (1645-1677), sejak awal memerintah dengan kecurigaan akan didongkel.
Ia membunuh Pangeran Alit, adik kandungnya sendiri, yang dituduh hendak merebut kekuasaan. Sekitar 5000 sampai 6000 santri dan ulama yang diduga menghasut Pangeran Alit, dibantai secara massal dalam waktu kurang dari sehari. Ia berebut perempuan dengan anaknya sendiri, dengan akibat wanita itu harus dibunuh juga. Pamannya sekeluarga yang ikut terlibat dihabisi.
Baca juga: Kyai Joyolalono (Djojolelono), Bupati Pertama Probolinggo
Teror itu pula mendorong putra mahkota Pangeran Adipati Anom memberontak dan minta tolong Pangeran Madura Trunojoyo. Kewalahan menghadapi Trunojoyo Amangkurat I minta bantuan VOC. Sejak itu pelan-pelan Belanda mencengkramkan kukunya di Mataram.
Tapi ketika Adipati Anom naik tahta sebagai Amangkurat II, ia berbalik melawan Trunojoyo. Dalam Babad Tanah Jawi bahkan diceritakan kebuasan khas masa itu: Amangkurat II setelah menyambut dengan manis Trunojoyo yang menyerah tiba-tiba menikam bekas sekutunya itu. Ia juga menyuruh semua bupati nya mengeroyok Trunojoyo dan memakan irisan hati orang Madura itu mentah-mentah.
Ia kemudian memindahkan keraton dari Plered ke Kartosuro pada 1680. Belanda terus menyertainya, bahkan berusaha bermain di tengah konflik suksesi. Karena sikap VOC penggantinya Amangkurat III hanya sempat berkuasa setahun. Sejak 1703 takhtanya direbut Pangeran Puger, saudaranya.
Puger naik takhta dengan gelar Pakubuwono I (1703-1719). Untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan, ia memerintahkan pujangga keraton menyusun sastra babad yang menarik. Diceritakan bahwa sebelum Amangkurat II dimakamkan, kemaluannya tiba-tiba tegak dan di ujungnya muncul setitik sinar sebesar merica. Anehnya diantara yang hadir termasuk Raden Mas Sutikno (Amangkurat III), hanya Puger lah yang mampu menyaksikan keajaiban itu.
Baca juga: Deng Xiaoping, Si Jarum Dalam Kapas
Maka demikianlah tulis sastra babad itu, Puger segera mengecup cahaya sebesar biji merica itu, hingga kemaluan sang raja kembali normal. Dengan dongeng ini disahkanlah Puger seolah ia lebih berhak jadi raja ketimbang Sutikno.
Sementara itu Belanda terus berusaha menguasai Mataram. Kesempatan itu terbuka ketika timbul Geger Pecinan pada 1742. Pemberontak Cina terhadap Belanda itu berhasil menguasai pesisir utara Jawa dan akhirnya masuk keraton. Pakubuwono II tidak berdaya, apalagi ia berhadapan dengan Raden Mas Said, menantunya sendiri. Hanya dengan bantuan Belanda pemberontakan itu dipadamkan lalu ibukota dipindah ke Surakarta.
Jasa Belanda ini punya buntut. Pada 1743 Belanda mengajukan kontrak politik pengangkatan semua penguasa di pesisir utara Jawa harus seizin Belanda. Sementara orang Jawa tidak boleh membuat kapal. Pelayaran dan perdagangan pun jadi monopoli Belanda. PB II setelah berembuk dengan Pangeran Mangkubumi, saudara seayah lain ibu, setuju.
Ia kemudian bahkan juga menyerahkan Pulau Madura dan seluruh pesisir utara Jawa kepada Belanda. Ia juga berjanji siap membantu Belanda melawan setiap pemberontak. Gara-gara perjanjian itulah, Raden Mas Said pendiri dinasti Mangkunagara – yang baru-baru ini diangkat sebagai pahlawan nasional – angkat senjata.
Ketika PB II sakit, Belanda menuntut yang lain. Seluruh wilayah kerajaan diminta dan penobatan semua keturunan PB II harus dilakukan oleh Belanda. Ini terjadi 16 Desember 1749.
Ketika PB III bertakhta, ia praktis jadi boneka. Karena Kerajaan Mataram hanya pinjaman belaka dari VOC. Maka Mangkubumi bertindak, ia dinobatkan oleh para pengikutnya di Mataram sebagai raja, lepas dari Surakarta.
Melihat itu PB III yang rupanya sangat lemah itu mengirim surat kepada Mangkubumi untuk menyerahkan sebagian dari Pulau Jawa. Berdasarkan surat itulah kemudian diselenggarakan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Hasilnya Mataram dibagi dua: Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Mangkubumi sebagai raja bergelar HB I dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan PB III sebagai raja.
Dua tahun kemudian diselenggarakan perdamaian di Salatiga. Hasilnya Kasunanan Surakarta dibagi dua. Sebagian diberikan kepada Raden Mas Said alias Pangeran Samber Nyowo yang kemudian memerintah di Pura Mangkunegara, dengan gelar KGPAA Mangkunegoro I. Pemecahan sisa kerajaan Mataram jalan terus. Pada 1811 Yogya dibagi pula oleh Inggris jadi dua yang sebagian di bawah wewenang Puro Pakualaman.
Tak berarti soal suksesi lancar di Yogya. Soal pun timbul pada masa Hamengkubuwono I (1755-1792). Putra mahkota Raden Mas Entho harus dikorbankan. Diceritakan ia tak mau belajar sastra, sombong, dan pernah membunuh beberapa orang Cina.
Suatu hari HB I mengajak putranya makan bersama. Dalam buku Yogyakarta Under Mangkubumi oleh sejarawan Ricklefs, disebut konon di situlah putra mahkota menelan racun. Delapan hari Ia sakit lalu mati. Setelah menerima permintaan maaf dari sang raja, kemudian disusunlah sastra babad yang mengungkapkan bahwa ketika berkunjung ke Candi Borobudur, Entho melihat seribu bayang-bayang ksatria yang mengepungnya. Ketika itu ia mendengar wangsit bahwa apa yang dilihatnya itu akan membawa sial.
Berikutnya HB I tak menunjuk putra tertua yang kedua Pangeran Aryo Ngabehi. HB I menunjuk anak bungsunya Raden Mas Sundara yang baru berusia 10 tahun sebagai HB II (1792-1810). Belakangan HB II ini selalu menolak kebijaksanaan VOC, karena itu Belanda selalu mengganggunya. Pada 1810, ia diturunkan dari takhta dan diangkatlah putranya sebagai HB III, yang setahun kemudian meninggal. HB II yang setelah turun takhta berganti nama sebagai Sultan Sepuh, mengambil alih kekuasaan kembali pada 1811. Baru setahun berkuasa ia ditangkap Belanda dan dibuang ke Penang.
Pada saat penggantian HB IV (1814-1822), juga timbul masalah. Putra sulungnya dari permaisuri, meski baru berusia 5 tahun, sudah dicalonkan sebagai putra mahkota. Hal ini terutama karena desakan Belanda. Maka raja kecil itu pun naik tahta sebagai HB V, didampingi beberapa wali yaitu Pangeran Mangkubumi ( paman HB IV), Pangeran Diponegoro (paman HB V), patih dalem, dan seorang residen Belanda.
Tapi Mangkubumi dan Diponegoro merasa tidak diikutsertakan dalam urusan kerajaan. Diponegoro akhirnya angkat senjata. Dia berperang selama 5 tahun sejak 1825, dan kalah. Belanda kemudian menggunakan tolak ukur lain bagi suksesi di Jawa misalnya ketika HB V wafat pada 1855. Dia tak digantikan oleh putra mahkota Raden Muhammad melainkan saudara Sultan.
Baca juga : Mereka Punya Hak Yang Sama
Suksesi dalam ketidakpastiannya mengundang senjata, darah, dan sakit hati. Ini semua itu tak akan terjadi bila keris yang berganti dengan musyawarah dan keputusan yang bijaksana.
Sumber : Laporan Utama. Majalah TEMPO No. 34. Th. XVIII. 22 Oktober 1988 (disusun oleh Budiman S. Hartoyo, Priyono B. Sumbogo, Budiono Darsono, dan Agung Firmansyah).
English text:
ARCHIVE: Series Hamengkubuwono IX Passes Away, Perhaps the Kris Is No Longer Necessary
In the annals of Javanese history, the concept of tranquility has remained elusive, from the fall of Majapahit in the 14th century to the fracturing of Mataram and the ascension of Hamengkubuwono I. Succession disputes have perennially ignited wars and violence, and presently, the necessity of a traditional weapon such as the “keris” seems obsolete.
All three Hamengkubuwono rulers met their demise in October, yet each approached the issue of succession differently. While Hamengkubuwono I, who passed away in his seventies, had long prepared a crown prince, HB VIII seemed unprepared until three days prior to his death at the age of 61, relinquishing the symbolic power-transfer artifact, the Kiai Joko Piturun keris, to his son, later titled HB IX.
The passing of HB IX on October 3rd deviated from this pattern. Apart from failing to designate a crown prince, he refrained from passing on the Kiai Joko Piturun to anyone. Rumors suggest that Sultan Sri had long contemplated abdication, expressing a desire to retire to Kedaton Shwarna Bumi in Bogor, assuming the title Ki Ageng Sepuh, a title chosen by himself.
The absence of a designated heir among his sons may explain the Sultan’s reluctance to pass on the Kiai Joko Piturun, attributed to his lack of a legitimate consort. His five wives and 22 children, 14 of them male, were deemed equal in status. Ki Juru Permono, considered Sri Sultan’s “spiritual advisor,” asserted the Sultan’s commitment to act fairly.
According to Ki Juru Permono, the Kiai Joko Piturun keris might have undergone a mystical transformation, disappearing or assuming a different form. Three days before Sri Sultan’s demise at 2:30 AM, Ki Juru claimed to have received a kind of prophecy. A knight from Mataram, dressed in traditional attire, approached him, saying, “Upayakno Kiai Joko Piturun!” (Seek Joko Piturun!). Astonished, Ki Juru contemplated whether the sacred weapon was already transcendent, adapting to the demands of the era.
Ki Juru, now 70, interpreted the mystical transformation of Kiai Joko Piturun in line with contemporary requirements. The family would convene to decide Ngarso Dalem’s successor, seeking counsel from the central government and the regional legislative body. The chosen successor would inherit the Kiai Joko Piturun.
In ancient Mataram, succession was solely determined by the reigning king, devoid of a tradition where the eldest son automatically assumed the throne, as in European customs. Consequently, leadership changes often triggered conflicts, including murders and wars.
Mataram’s succession issues escalated into violence after the demise of Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645), renowned as Mataram’s greatest ruler. Despite expanding his dominion, he oppressed coastal regents in northern Java, such as Pati and Surabaya, often relocating or suppressing perceived threats. His reign witnessed the Perapen Pesantren uprising in 1636, led by Sunan Giri Perapen.
Sultan Agung’s greatest achievement was the three failed sieges of Batavia (1628-1629). Despite the setbacks, he left a lasting legacy, constructing a mausoleum on Imogiri Hill.
However, his descendants struggled to uphold the empire forged through warfare. Sultan Agung’s successor, his eldest son, later known as Amangkurat I (1645-1677), ruled under constant suspicion, culminating in the murder of his own younger brother, Pangeran Alit, accused of plotting a coup. Approximately 5,000 to 6,000 students and scholars suspected of supporting Pangeran Alit were massacred in less than a day. Amangkurat I also competed for a woman with his own son, resulting in her tragic demise. His extended family involved in the affair met a similar fate.
The reign of Amangkurat I saw the rebellion of the crown prince, Pangeran Adipati Anom, seeking assistance from Pangeran Madura Trunojoyo. Overwhelmed, Amangkurat I sought the aid of the Dutch East India Company (VOC). This marked the beginning of Dutch influence in Mataram.
Upon Adipati Anom ascending the throne as Amangkurat II, he turned against Trunojoyo. According to Babad Tanah Jawi, Amangkurat II, after initially welcoming the surrendered Trunojoyo, suddenly attacked and ordered his bupati-s to brutally mutilate and consume the Madurese prince’s heart.
Amangkurat II later moved the palace from Plered to Kartosuro in 1680. The Dutch continued to exert influence, and his successor, Amangkurat III, only held power for a year before being overthrown by his brother, Pangeran Puger, in 1703.
Puger assumed the throne with the title Pakubuwono I (1703-1719). To legitimize his rule, he commissioned court poets to compose historical narratives. Legend has it that before Amangkurat II’s burial, his genitals suddenly became erect, emitting a ray of light the size of a peppercorn. Strangely, among those present, only Puger witnessed this phenomenon. Seizing on this narrative, Puger asserted his right to the throne over Raden Mas Sutikno (Amangkurat III), who had been overlooked.
Meanwhile, the Dutch persisted in their efforts to control Mataram. An opportunity arose during the Geger Pecinan uprising in 1742, when Chinese rebels against the Dutch seized the northern coast of Java and breached the palace. Pakubuwono II, powerless and facing his own son-in-law Raden Mas Said, sought Dutch assistance. The rebellion was quelled with Dutch support, and the capital was relocated to Surakarta.
This Dutch assistance came at a price. In 1743, they proposed a political contract stipulating that all rulers along the northern coast of Java required Dutch approval, and the Javanese were prohibited from building ships. Dutch colonial interests monopolized maritime trade. After deliberations with Pangeran Mangkubumi, his half-brother from another mother, Pakubuwono II agreed.
Furthermore, he ceded Madura Island and the entire northern coast of Java to the Dutch, pledging assistance against any rebels. The agreement prompted Raden Mas Said, founder of the Mangkunagara dynasty -and recently designated a national hero-, to take up arms.
When Pakubuwono II fell ill, the Dutch demanded a replacement. The entire kingdom was surrendered, and all heirs to Pakubuwono II were to be appointed by the Dutch. This occurred on December 16, 1749.
Upon the coronation of Pakubuwono III, the kingdom became a mere puppet, as Mataram was merely a loan from the VOC. Observing this, Mangkubumi asserted his autonomy, proclaiming himself the ruler of Mataram, independent of Surakarta.
In response, Pakubuwono III, weakened and practically a puppet, sent a letter to Mangkubumi, offering to cede parts of Java. This letter laid the groundwork for the Giyanti Agreement on February 13, 1755. The outcome divided Mataram into two entities: the Sultanate of Ngayogyakarta Hadiningrat, with Mangkubumi as Sultan HB I, and the Sunanate of Surakarta Hadiningrat, with Pakubuwono III as Susuhunan (King).
Two years later, a peace settlement was reached in Salatiga. The Sunanate of Surakarta was further divided, with Raden Mas Said, also known as Pangeran Samber Nyowo, receiving a portion and ruling in Pura Mangkunegara as KGPAA Mangkunegoro I. The fragmentation of the Mataram kingdom persisted, with Yogyakarta further divided by the British in 1811, placing part of it under the authority of Puro Pakualaman.
The smooth succession in Yogyakarta was disrupted during the reign of Hamengkubuwono I (1755-1792). The crown prince, Raden Mas Entho, was sacrificed. Reportedly, he displayed arrogance, lacked interest in literature, and was implicated in the killing of several Chinese individuals.
During a shared meal, HB I allegedly served Entho poison. Eight days later, Entho fell ill and died. Following an apology from the king, a narrative was crafted, suggesting that during a visit to Borobudur Temple, Entho witnessed a thousand knightly shadows besieging him. Allegedly, he heard a prophecy foretelling misfortune.
Subsequently, HB I bypassed his eldest son, Pangeran Aryo Ngabehi, and appointed his youngest son, Raden Mas Sundara, a 10-year-old, as HB II (1792-1810). HB II consistently resisted Dutch policies, leading to persistent Dutch interference. In 1810, he was dethroned, and his son, HB III, was installed, only to die a year later. HB II, post-abdication and renamed Sultan Sepuh, reclaimed power in 1811 but was captured by the Dutch and exiled to Penang.
The succession of HB IV (1814-1822) also encountered complications. His eldest son from a queen consort, though only 5 years old, was designated as the crown prince under Dutch pressure. This led to the ascent of the young king as HB V, supported by regents such as Pangeran Mangkubumi (uncle of HB IV), Pangeran Diponegoro (uncle of HB V), the patih dalem, and a Dutch resident.
However, Mangkubumi and Diponegoro felt excluded from the affairs of the kingdom, prompting Diponegoro to take up arms. The conflict lasted five years, from 1825, ending in Dutch victory. Subsequently, the Dutch adopted different criteria for succession, as seen when HB V passed away in 1855. Instead of being succeeded by the crown prince Raden Muhammad, the throne went to Sultan’s brother.
Succession in Java, fraught with uncertainty, bred weapons, bloodshed, and resentment—a scenario that could have been avoided with deliberative decision-making, replacing the symbolic power of the keris.
Source : Main Report. TEMPO magazine Num. 34. Year. XVIII. 22 Oktober 1988 (arranged by Budiman S. Hartoyo, Priyono B. Sumbogo, Budiono Darsono, dan Agung Firmansyah).
Terima kasih sudah membaca artikel wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang dimuat di printilan.com. Artikel wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah salah satu artikel yang masuk dalam kategori arsip berita lama yang dimuat di printilan.com.