Arsip : Seri Hamengkubuwono IX Wafat, Di Seputar Wasiat Takhta Yogya

by | Jan 11, 2024 | Jawa | 0 comments

Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang merupakan Raja Yogyakarta di era Perang Kemerdekaan dan Wakil Presiden Indonesia, wafat atau mangkat pada tahun 1988. Artikelnya muncul dalam laporan utama Majalah Tempo dengan judul asli Di Seputar Wasiat Takhta Yogya. Berikut tulisan selengkapnya:

Masa berkabung nasional itu berakhir sudah Kamis pekan lalu di Yogyakarta. Keraton sudah kembali dibuka untuk umum. Turis asing, seperti biasa, mulai kelihatan mondar-mandir keluar masuk keraton sembari menenteng kamera.

“Sejak dibuka Sabtu lalu, sudah lebih dari 1000 pengunjung yang datang”, kata Gusti Pangeran Poeroebojo, kepala tepas pariwisata Keraton Yogyakarta awal pekan ini.

Kendati demikian suasana duka masih terasa. Setelah satu minggu tutup, mulai Jumat pekan lalu, sekatenan memang sudah dibuka lagi. Tapi para pedagang nampak masih sungkan untuk berteriak-teriak. Mereka belum mau menggunakan alat mikrofon untuk menjajakan jualannya.

Itulah sekatenan yang agaknya paling sepi. Musik dangdut yang sudah beberapa tahun ini menjadi warna khusus pasar malam memperingati bulan Maulid itu, tak nampak di pentas yang disediakan. Padahal izin untuk itu sudah diberikan keraton. Alkisah, pimpinan grup dangdut itu sudah memutuskan tak akan mentas sampai sekatenan berakhir 23 Oktober mendatang, sebagai tanda turut berduka atas mangkatnya Sri Sultan.

Corong pengeras suara yang terdapat di atas menara dan biasa dipergunakan untuk menyampaikan berbagai pengumuman – termasuk pemberitahuan anak hilang – sampai sekarang terdengar hanya mengalunkan bacaan ayat-ayat suci Alquran.

Keramaian justru terlihat di Imogiri. Tepatnya di kompleks makam Astana Saptarengga. Di sana sejak hari pemakaman Sabtu 2 pekan lalu, tak pernah sepi dari peziarah. Padahal astana itu hanya dibuka Senin dan Jumat. Maka di luar hari itu ratusan berziarah hanya diizinkan sampai di luar makam. Ada yang menginap. Mereka bertiduran di bangsal depan masjid makam, dan di depan pintu masuk Saptarengga, juga di tangga makam yang terdiri dari 454 anak tangga. “Setiap Senin dan Jumat” menurut Djogopratomo, abdi dalem penjaga makam. Setidaknya 1000 peziarah tumplek ke situ.

Di tempat lain di Shwarna Bumi, Kedaton Sri Sultan di Bogor, ada sekitar 100 orang berkumpul Jumat malam Pekan lalu untuk tahlilan. Mereka adalah penduduk sekitar Kedaton. dan KRAy Norma Nindyakirana, istri terakhir Sri Sultan dengan ramahnya meladeni para tetamunya.

Acara mengenang Sri Sultan mungkin masih akan panjang, namun bagi keluarga besar Keraton Ngayogyakarta, ada persoalan yang masih harus mereka selesaikan. Salah satu, adalah status tanah dan harta keraton. Ada sejumlah tanah yang dibagikan keraton kepada lembaga desa dan hasilnya bisa dimanfaatkan untuk kas desa bersangkutan. Sampai kini menurut Pangeran Hadiwinoto, adik Mangkubumi, status tanah itu belum jelas.

Tidak terkandung maksud dari Keraton untuk mengklaim tanah yang sudah dibagikan itu. Kepada Tepas Wahono Sartokriyo, instansi keraton yang mengurusi tanah dan bangunan milik Keraton, dia berkata “Kami hanya ingin tahu status kepemilikan tanah itu secara hukum.”

Ada yang lebih penting sampai Ngarso Dalem menutup mata nun jauh di negeri orang, dia belum sempat membereskan masalah suksesi di keratonnya.

Senin malam pekan ini rombongan keluarga Keraton Yogya mengunjungi Presiden Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta. “Kunjungan ini cuma untuk mengucapkan terima kasih kepada bapak presiden”, kata KGPH Mangkubumi kepada wartawan di kantor ayahandanya di Jalan Prapatan, Jakarta Pusat, setelah mereka kembali dari kediaman presiden.

Mereka yang berangkat menemui Pak Harto adalah wakil dari putra-putri Sultan. Mangkubumi mewakili putra-putri dari KRAy Widyaningrum; GBPH Prabukusumo, putra dari KRA Hastungkara; GBPH Pakuningrat, putra dari KRA Ciptomurti; dan GBPH Puger yang mewakili putra Hamengkubuwono VIII.

Puger, Mangkubumi, Ratu Anom, Prabukusuma, Pakuningrat (kiri ke kanan) setelah menghadap presiden. DOK TEMPO (Dahlan Rabu Pahing)

Berbeda dengan yang lain, putra-putri dari KRAy Pintokopurnomo diwakili oleh Kanjeng Ratu Anom. Maka orang pun ingin tahu, kenapa mereka tidak diwakili oleh Pangeran Hadikusumo, adik Ratu Anom. “Kita tidak mungkin datang semua jadi cukup dengan perwakilan, begitu lho”, jawab Mangkubumi.

Pertanyaan ini cukup menggoda karena GBPH Hadikusumo, baru saja melemparkan sebuah berita yang kontroversial dan mendapat banyak tanggapan. Dalam suatu wawancara yang diberitakan, Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, 11 Oktober lalu, Hadikusumo menyatakan bahwa ia telah menerima wasiat dari HB IX, ayahandanya itu, katanya. Terjadi 5 September lalu, 28 hari sebelum wafatnya Sri Sultan dia mengaku telah dipanggil Ngarso Dalem di rumah kediaman di Jalan Halimun Jakarta.

Nah dalam pertemuan 6 mata yang disaksikan oleh ibu tirinya, KRAy Nindyokirono, yang sekitar dua setengah jam itulah Sri Sultan, kata yang empunya cerita telah menyerahkan wasiat. Isinya Pangeran Hadikusumo, putra Sri Sultan yang kini Rektor Universitas Proklamasi belum bersedia mengungkapkannya. Dia ingin menunggu selepas 40 hari masa berkabung, “Tapi kita masih akan membicarakannya lebih dulu dengan keluarga”, katanya.

KRAy Nindyakirana membenarkan terjadinya pertemuan itu. Malah sebelumnya menurut dia, Sultan lebih dahulu mengadakan pertemuan dengan putra-putranya yang lain tentang suksesi. “Bapak malah pernah menyebut pada saya bahwa nantinya akan ada Hamengkubuwono X”, kata Ny. Norma Nindyakirana. Masih menurut Norma, Sultan sudah pernah punya keinginan untuk melepaskan jabatannya di Keraton. “Dulu sudah gencar bapak mau berhenti. Bapak mau istirahat di sini saja”, katanya kepada tempo Jumat malam pekan lalu di Kedaton Shwarna Bumi.

Masih menurut Norma, Sri Sultan juga pernah berbicara dengan Paku Alam VIII, di kantor Jalan Prapatan. Dan Norma mengakui tidak hadir di situ, “Tapi saya mengetahui hasil pembicaraan itu dari bapak sendiri”, katanya. Sementara itu pertemuan Sri Sultan dengan putra-putranya menurut Norma, berlangsung di Jalan Halimun. Dan norma tentu saja mengaku hadir di situ.

Baca juga: Deng Xiaoping, Si Jarum Dalam Kapas

Masih di bulan Juli menjelang penobatan empat pangeran baru di keraton 23 Juli silam, Sultan memanggil tiga putranya ke Jalan Halimun, KGPH Mangkubumi beserta dua adiknya, GBPH Hadiwinoto dan GBPH Joyokusumo. Pertemuan itu seingat Norma berlangsung Dari pukul 5 sore sampai pukul 12 malam.

Sayang, Norma menolak mengungkapkan isi persisnya pertemuan itu, “Tanyakan saja pada mereka”, katanya. Kemudian karena Sultan sudah punya rencana berangkat ke Jepang dan terus ke Amerika Serikat, guna mengecek kesehatan, 14 September 1988, maka ia memanggil pula GBPH Hadikusumo, putra tertuanya dari KRAy Pintokopurnomo. Maka pada 5 September 1988 Hadikusumo datang menghadap.

Norma mengaku mengetahui persis seluruh isi pembicaraan. Tapi lagi-lagi dia menolak mengungkapkannya kepada Tempo. Hadiwinoto membenarkan ia telah ditugasi oleh Sri Sultan untuk membenahi sebuah ruangan di dalam Keraton yang oleh Sri Sultan digambarkan untuk sebuah tempat tinggal. Ada dugaan persiapan itu untuk tempat tinggal raja, “Tapi saya sendiri tidak diberitahu untuk tempat apa. Tugas saya cuma menyiapkan gambarnya”, katanya.

Sedangkan adiknya, Joyokusumo, diperintahkan Ngarso Dalem agar mencari arsip-arsip pranatan yang mengatur tentang tata cara penobatan seorang putra mahkota. Ia belum berhasil memenuhi perintah yang disampaikan Sultan kepadanya ketika ia dipanggil menghadap ke Jalan Halimun Juni lalu bersama kedua kakaknya sebagaimana yang disebutkan Norma tadi.

Hadiwinoto membenarkan pula cerita yang menyebutkan Ngarso Dalem, pernah memanggilnya. Malah, ia sendiri di keraton yang menerima telepon Ngarso Dalem dari Jakarta, pada satu September 1988. Isinya : Agar Hadikusumo menghadap Sultan di Jakarta.

Baca juga: Kyai Joyolalono (Djojolelono), Bupati Pertama Probolinggo

Karena kesibukannya di Yogyakarta, Hadikusumo belum juga berangkat. Maka esoknya adik kandung Mangkubumi ini menerima lagi telepon dari Sultan dengan pesan yang sama. Malah kali ini dengan tambahan: Hadikusumo ditunggu di Jakarta 5 September 1988. Hadikusumo pun berangkat ke Jakarta. “Apakah ketika itu ada wasiat atau tidak? Saya tidak tahu”, kata Hadiwinoto.

Itulah soalnya, adakah wasiat? Gusti Pangeran Poeroebojo, salah seorang kakak Sri Sultan dari ibu yang lain meragukannya. Sebab dari Hamengkubuwono I sampai VIII, tidak pernah ada yang meninggalkan wasiat untuk anak maupun cucunya. “Saya tak yakin ada wasiat dari Ngarso Dalem”, katanya.

Hadiwinoto dan Norma. DOK TEMPO (Roland Agusta)

“Kalaupun benar, begitu toh penerus tahtah Sri Sultan akan tetap berlangsung sesuai dengan tradisi”. Setidaknya pengganti Sri Sultan haruslah seorang putra mahkota dari permaisuri kalau permaisuri tidak ada barulah dicari putra tertua dari selir atau garwa dalem.

Baca juga : Barangkali Keris Itu Tak Perlu Lagi

Maka menurut Pangeran Poeroebojo, orang yang paling tepat menggantikan Sri Sultan adalah KGPH Mangkubumi. “Saya tidak punya kepentingan pribadi dalam soal ini, tapi tradisinya memang begitu. Kalau tidak mengikuti tradisi itu harus ada musyawarah untuk menciptakan tradisi baru”, kata kepala Tepas Pariwisata Keraton itu.

Menurut sang pangeran, tradisi keraton juga sebenarnya tak mengenal penentuan takhta lewat musyawarah. “Sekarang nampaknya dibutuhkan rapat semacam itu untuk mencari pengganti Sri Sultan”, ujarnya. Tapi menurut Hadiwinoto, musyawarah seperti itu dilakukan dalam hal pengangkatan Sultan Hamengkubuwono IX.

Sementara itu dukungan terhadap Mangkubumi berdatangan. Gusti Pangeran Soerjowidjojo, salah seorang adik Sri Sultan juga mendukung KGPH Mangkubumi. “Kami sekeluarga termasuk adik-adik Sri Sultan, mendukung KGPH Mangkubumi”, kata kepala Purorekso, kepala keamanan keraton.

GBPH Benowo, 61 tahun, juga adik Sri Sultan, terus terang berkata secara politis Mangkubumi memang sudah disiapkan Sultan untuk menggantikannya.

Adik-adik Mangkubumi juga nampaknya mendukung kakaknya. Meskipun mereka berpendapat keputusan akhir perlu ditempuh lewat jalan musyawarah keluarga, misalnya, seperti kata Hadiwinoto “Semua putra Sultan berhak atas jabatan itu. Tapi menurut adat, putra tertualah yang harus memimpin. Jadi putra tertua adalah Mas Mangkubumi”, namun ia buru-buru menambahkan, “Itu akhirnya tergantung musyawarah keluarga juga.”

Putra-putri dari garwa dalem lainnya belum bersedia menentukan pilihan, “Tapi yang pasti Hamengkubuwono X Itu nanti bukan saya”, kata GBPH Prabukusumo, putra tertua dari KRAy Hastungkoro. Dia agaknya ingin memberi isyarat tak akan mencalonkan diri.

Meskipun sebagai putra tertua, sesungguhnya kan Prabukusumo sama saja dengan Mangkubumi, Hadikusumo, maupun GBPH Pakuningrat, putra tertua dari KRAy Ciptomurti.

Sepanjang sejarah Kerajaan Mataram nampaknya tak mudah untuk mencari suatu ketentuan yang seragam tentang tata cara pemilihan pengganti Sultan. Yang biasa terjadi pewaris takhta ditentukan oleh Sultan. Biasanya ia adalah putra dari salah seorang garwa dalem yang telah diangkat Sultan sebagai permaisuri.

Baca juga : Mereka Punya Hak Yang Sama

Tapi sampai akhir hayatnya, HB IX tidak pernah mengangkat seseorang permaisuri. Berarti 14 putra nya sekarang berasal dari ibu garwa dalem yang sama derajatnya. Dengan kata lain, sama pula kansnya untuk terpilih. Kalau Mangkubumi dan Hadikusumo punya kesempatan lebih dibandingkan adik-adiknya, itu disebabkan peran mereka selama ini.

Mangkubumi adalah Ketua DPD Golkar DIY, anggota DPR, dan Komisaris Utama Pabrik Gula Madukismo, Yogyakarta. Usianya juga lebih tua 6 bulan dari Hadikusumo. Sedang Hadikusumo, selain Rektor Universitas Proklamasi Yogyakarta, adalah ketua Paguyuban Sabtu Pahing, semacam kelompok spiritual yang anggotanya cukup banyak dan tersebar di seluruh Indonesia.

Sabtu Pahing adalah hari kelahiran Sri Sultan, pada hari itu kelompok ini melakukan upacara peringatan. Hadikusumo sekarang menjadi Ketua Kwartir Daerah Pramuka Yogyakarta. Ia pula diangkat Sri Sultan menjadi Pengageng Kawedanan Sri Wandono, jabatan semacam Sekretaris Negara. Dengan jabatan itu, dialah selama ini satu-satunya pangeran yang berhak menyampaikan perintah Ngarsa Dalem kepada para penghuni keraton.

Satu hal yang menggembirakan seluruh pihak yang terlibat dalam suksesi, nampaknya sudah sepakat pengganti Ngarsa Dalem akan ditentukan lewat musyawarah keluarga setelah masa berkabung usai.

Soal wasiat tadi, misalnya, bila memang ada dan bisa dibuktikan kebenarannya, akan dibahas dalam musyawarah yang menurut rencana akan diikuti semua putra Sultan Hamengkubuwono IX dan Putra Sultan Hamengkubuwono VIII. Seperti kata Mangkubumi “Kita harus melihat, apakah wasiat itu tertulis atau lisan, otentik atau tidak, dan terserah musyawarah keluarga nantinya akan menerimanya atau tidak.” Pangeran Poeroebojo menimpali “Kalau wasiat itu cuma lisan, akan sulit diterima karena diragukan kebenarannya.”

Maka bisa jadi, pustaka raja, semacam catatan yang dibikin oleh Sri Sultan. Menurut Poeroebojo, Sultan sudah menulis lebih dari dua buku – akan dijadikan pedoman Sri Sultan. Menurut Ny. Norma banyak meninggalkan catatan yang sekarang tersimpan di beberapa lemari yang belum dibuka karena menunggu musyawarah keluarga. “Ya siapa tahu di situ ada tersimpan wasiat tertulis”, kata Mangkubumi.

Tapi Norma sebagai satu-satunya saksi dalam pemberian wasiat tadi, seperti dikatakan Hadikusumo, mengakui bahwa Sultan tak memberikan wasiat tertulis atau tanda yang lain. Misalnya dengan memberikan Joko Piturun, keris yang dipegang oleh putra mahkota Keraton Yogyakarta, yang kini tersimpan di keraton.

Apa komentar Paku Alam VIII? Menurut Ny. Norma, Paku Alam pernah diajak berunding oleh Sri Sultan. Betulkah? Ketika ditemui Tempo, Senin sore awal pekan ini, Wakil Gubernur DI Yogyakarta berkomentar “Bilang saja itu rahasia, dan Sri Paduka tidak akan mengungkapkannya kepada siapapun dan sampai kapanpun.”

Masih ada satu lagi, tentang jabatan Gubernur DIY yang lowong. Suara di luaran mengatakan itu akan dirangkap oleh siapapun yang nantinya akan tampil sebagai penerus takhta Keraton Jogja. Dalam hal ini pun, Wakil Gubernur DIY, Paku Alam menjawab kalem, “Lha itu kan terserah pemerintah”, benar juga.

Sumber : Laporan Utama. Majalah TEMPO No. 34. Th. XVIII. 22 Oktober 1988 (disusun oleh Amran Nasution, Syahril Chili, I Made Suarjana, Aries Margono)

English Text:

The national mourning period officially ended last Thursday in Yogyakarta. The palace has reopened to the public, and foreign tourists are once again seen wandering in and out of the palace grounds with their cameras.

“Since it reopened last Saturday, more than 1000 visitors have come,” said Gusti Pangeran Poeroebojo, the head of the tourism department at the Yogyakarta Palace earlier this week.

However, the atmosphere is still somber. Even though the Sekatenan festival resumed last Friday after a week of closure, the market vendors are still reluctant to shout and advertise their products. They are hesitant to use microphones for their sales pitches.

This Sekatenan appears to be quieter than usual. The traditional dangdut music, which has been a distinctive feature of this Maulid month night market for several years, is absent from the stage. Despite receiving permission from the palace, the leader of the dangdut group decided not to perform until the end of Sekatenan on October 23, as a sign of mourning for the late Sri Sultan.

The loudspeakers atop the towers, typically used for various announcements, including missing children announcements, now only resonate with recitations of sacred verses from the Quran.

Contrary to the quiet atmosphere in Yogyakarta, Imogiri is bustling with activity, especially at the Astana Saptarengga cemetery complex. Since the funeral on Saturday two weeks ago, pilgrims have continuously visited. Despite being open only on Mondays and Fridays, the site accommodates hundreds of pilgrims outside of these days. Some even stay overnight, sleeping in front of the mosque and at the entrance of Saptarengga, as well as on the 454 steps leading to the tomb. “Every Monday and Friday,” according to Djogopratomo, the caretaker of the tomb, at least 1000 pilgrims visit.

In another location, at Kedaton Shwarna Bhumi in Bogor, around 100 people gathered last Friday night for a tahlilan ceremony. These were residents from around Kedaton, and KRAy Norma Nindyakirana, the late Sri Sultan’s last wife, graciously received the guests.

While commemorations for Sri Sultan may continue, the larger Keraton Ngayogyakarta family faces unresolved issues. One of them is the status of the palace’s land and assets. Some land distributed by the palace to village institutions remains in legal limbo, with no clear ownership status, according to Prince Hadiwinoto, Mangkubumi’s brother.

The palace has no intention of reclaiming the distributed land. Tepas Wahono Sartokriyo, the institution responsible for palace land and buildings, stated, “We only want to know the legal status of the land.”

There are more pressing matters for Ngarso Dalem, even as they close their eyes to distant lands. This Monday night, the Keraton Yogyakarta family visited President Soeharto on Jalan Cendana, Jakarta. “This visit is simply to express our gratitude to the president,” said KGPH Mangkubumi, the spokesperson for the Sultan’s children, at his father’s office on Jalan Prapatan, Central Jakarta, after returning from the president’s residence.

The delegation that met President Soeharto represented the children of the late Sultan. Mangkubumi represented the children of KRAy Widyaningrum; GBPH Prabukusumo, the son of KRA Hastungkara; GBPH Pakuningrat, the son of KRA Ciptomurti; and GBPH Puger representing the son of Hamengkubuwono VIII.

In contrast to the others, the children of KRAy Pintokopurnomo were represented by Kanjeng Ratu Anom. When asked why they were not represented by Prince Hadikusumo, Ratu Anom’s brother, Mangkubumi replied, “It’s not possible for all of us to come, so representatives are sufficient.”

This question was particularly intriguing as GBPH Hadikusumo had recently made a controversial statement, generating significant responses. In an interview reported by Kedaulatan Rakyat Yogyakarta on October 11, Hadikusumo claimed to have received a testament from his father, Sultan, on September 5, 28 days before the Sultan’s passing. According to him, the meeting took place at Ngarso Dalem’s residence on Jalan Halimun, Jakarta.

The content of the testament, as stated by Prince Hadikusumo, the current Rector of Proclamation University, remains undisclosed. He stated that he would discuss it with the family after the 40-day mourning period. KRAy Nindyakirana confirmed the meeting, adding that Sultan had previously discussed succession plans with his other sons.

Questions about Sultan’s succession plans persisted. In July, before the coronation of four new princes on July 23, Sultan summoned three of his sons to Jalan Halimun: KGPH Mangkubumi and his two younger brothers, GBPH Hadiwinoto and GBPH Joyokusumo. The meeting, according to Nindyakirana, lasted from 5 pm to midnight.

Despite knowing the details of the meeting, Nindyakirana refused to disclose the specifics, suggesting to inquire directly with the involved parties. She did reveal that Sultan had expressed the intention to step down from his position at the palace. “In the past, Bapak was eager to retire. He wanted to rest here,” she told Tempo last Friday night at Kedaton Shwarna Bumi.

Nindyakirana also mentioned that Sultan had conversations with Paku Alam VIII at the Prapatan office. Although she was not present, she claimed to know the outcome from Sultan himself. According to Nindyakirana, Sultan had planned to relinquish his position at the palace. “He had been eager to retire. He wanted to rest here,” she told Tempo last Friday night at Kedaton Shwarna Bumi.

Moreover, Nindyakirana stated that Sultan had previously discussed the matter with Paku Alam VIII at the Prapatan office. While she was not present, she claimed to have learned about the discussion from Sultan himself. Meanwhile, Sultan’s meeting with his sons, according to Nindy, took place on Jalan Halimun, and she confirmed her presence at the meeting.

In September 1988, before his planned trip to Japan and the United States for a health check-up, Sultan summoned GBPH Hadikusumo, the eldest son of KRAy Pintokopurnomo. On September 5, 1988, Hadikusumo went to meet his father in Jakarta. However, the contents of their meeting remain unknown.

The question remains: was there a testament? Gusti Pangeran Poeroebojo, one of Sultan’s brothers from another mother, expressed doubt. According to him, from Hamengkubuwono I to VIII, no one left a testament for their children or grandchildren. “I’m not sure there is a testament from Ngarso Dalem,” he said.

“Even if there is, the succession of Sri Sultan’s throne will continue according to tradition. At least the replacement for Sri Sultan must be a crown prince from the queen. If there is no queen, the eldest son from the spouses or garwa dalem should be

According to Prince Poeroebojo, the most suitable person to replace Sri Sultan is KGPH Mangkubumi. “I have no personal interest in this matter, but that’s how the tradition goes. If we deviate from tradition, there should be a deliberation to create a new tradition,” said the head of the Yogyakarta Palace Tourism Department.

The prince mentioned that traditionally, the palace does not involve deliberations in determining the throne. “Now it seems a meeting of that sort is needed to find a replacement for Sri Sultan,” he added. However, according to Hadiwinoto, such deliberations were held during the appointment of Sultan Hamengkubuwono IX.

Meanwhile, support for Mangkubumi has been pouring in. Gusti Prince Soerjowidjojo, one of Sultan’s brothers, also supports KGPH Mangkubumi. “Our entire family, including Sultan’s siblings, supports KGPH Mangkubumi,” said that Head of Purorekso, the head of the palace security.

GBPH Benowo, aged 61 and another brother of Sri Sultan, candidly stated that politically Mangkubumi had already been prepared by Sultan to succeed him.

Mangkubumi’s siblings also seem to support their elder brother. Although they believe the final decision should be made through family deliberations, as Hadiwinoto suggested, “All of Sultan’s sons are entitled to the position. But according to tradition, the eldest son should lead. So the eldest son is Mas Mangkubumi,” though he quickly added, “Ultimately, it depends on family deliberations.”

The children from other spouses are not ready to make a decision yet. “But one thing for sure, it won’t be me as Hamengkubuwono X,” said GBPH Prabukusumo, the eldest son of KRAy Hastungkoro. He seems to be signaling that he will not run for the position.

Although, as the eldest son, Prabukusumo is on equal footing with Mangkubumi, Hadikusumo, and GBPH Pakuningrat, the eldest son of KRAy Ciptomurti.

Throughout the history of the Mataram Kingdom, it seems challenging to find a uniform regulation regarding the procedure for selecting a Sultan’s successor. Typically, the heir to the throne is determined by the Sultan. Usually, the heir is the son of one of the spouses whom the Sultan has appointed as the queen.

However, until his passing, HB IX never appointed anyone as a queen. This means that his 14 sons now come from spouses of the same rank. In other words, they all have an equal chance of being chosen. If Mangkubumi and Hadikusumo have a better chance than their siblings, it is due to their roles until now.

Mangkubumi is the Chairman of the Golkar Regional Board in DIY, a member of the DPR (People’s Consultative Assembly), and the President Commissioner of Madukismo Sugar Factory, Yogyakarta. He is also six months older than Hadikusumo. Meanwhile, Hadikusumo, besides being the Rector of Proclamation University Yogyakarta, is the head of the Sabtu Pahing Association, a spiritual group with many members scattered throughout Indonesia.

Sabtu Pahing is the day of Sultan’s birth, and on this day, the group conducts commemorative ceremonies. Hadikusumo is now the Regional Scout Leader of Yogyakarta. Sultan also appointed him as the Pengageng Kawedanan Sri Wandono, a position similar to the Secretary of State. In this position, he is the only prince authorized to convey Ngarsa Dalem’s orders to the palace residents.

One encouraging aspect for all parties involved in the succession is that an agreement seems to be in place to determine Sultan’s successor through family deliberations after the mourning period.

Regarding the earlier testament, for example, if it exists and can be proven, it will be discussed in the deliberations, which, according to the plan, will be attended by all sons of Sultan Hamengkubuwono IX and Hamengkubuwono VIII. As Mangkubumi stated, “We need to see whether the testament is written or oral, authentic or not, and it’s up to the family deliberations to accept it or not.” Prince Poeroebojo added, “If the testament is only oral, it will be challenging to accept because its authenticity is doubtful.”

Therefore, there may be a royal library, such as records made by Sri Sultan. According to Poeroebojo, Sultan has written more than two books – to be used as guidelines by the future Sultan. According to Ny. Norma, many notes left by Sultan are now stored in several cabinets awaiting family deliberations to be opened. “Who knows, there might be a written testament stored there,” said Mangkubumi.

However, as the sole witness to the testament, as mentioned by Hadikusumo, Norma acknowledged that Sultan did not leave a written testament or any other signs. For example, by giving Joko Piturun, the keris held by the crown prince of the Yogyakarta Palace, which is now kept in the palace.

What about Paku Alam VIII’s comment? According to Ny. Norma, Paku Alam was indeed consulted by Sri Sultan. Is it true? When approached by Tempo on Monday afternoon earlier this week, the Deputy Governor of DIY commented, “Just say it’s a secret, and Sri Paduka will not reveal it to anyone, ever.”

There is still one more thing, the vacant position of the Governor of DIY. Voices outside suggest that it will be an ex-officio with whoever emerges as the successor to the Yogyakarta Palace throne. In this regard, the Deputy Governor of DIY, Paku Alam, calmly responded, “Well, that’s up to the government,” and rightly so.

Source : Main Report. TEMPO magazine Num. 34. Year. XVIII. 22 Oktober 1988 (arranged by Amran Nasution, Syahril Chili, I Made Suarjana, Aries Margono)

Terima kasih sudah membaca artikel wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang dimuat di printilan.com. Artikel wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah salah satu artikel yang masuk dalam kategori arsip berita lama yang dimuat di printilan.com.

Printilan.com adalah situs web berisi informasi mengenai topik-topik seperti daerah, politik, negara, sejarah, transportasi, dan hiburan. Kami juga menampilkan arsip-arsip berita di masa lalu agar jadi jembatan wawasan bagi masa sekarang.

Info Transportasi

Transpotasi Umum

TJ •  MRT •  LRT Jakarta •  LRT Bekasi •  LRT Cibubur

KRL Commuter

Cikarang •  Bogor •  Rangkasbitung •  Tangerang  •  Tanjung Priok •  Solo-Jogja  •  Jogja-Solo

Kereta Api Jarak Jauh

A

Airlangga  Ambarawa Ekspres  Argo Bromo AnggrekArgo CheribonArgo DwipanggaArgo LawuArgo MerbabuArgo MuriaArgo ParahyanganArgo SemeruArgo SindoroArgo Wilis

B

Bangunkarta • Banyubiru • Baturraden EkspresBengawan  BimaBlambangan Ekspres • Blora Jaya  Bogowonto • Brantas • Brawijaya

C-F

Cikuray  Ciremai • Dharmawangsa • Fajar Utama Solo • Fajar Utama Yogyakarta

G-H

Gajahwong • GajayanaGayabaru Malam Selatan • Gumarang • Harina

J

Jaka Tingkir  Jayabaya • Jayakarta  Joglosemarkerto

K-L

Kahuripan  Kaligung • Kamandaka • Kertajaya  Kertanegara • Kutojaya Selatan  Kutojaya Utara • Lodaya • Logawa

M

Majapahit  Malabar • Malioboro Ekspres • ManahanMataram • Matarmaja  Menoreh • Mutiara Selatan • Mutiara Timur

P

PandalunganPangandaran • Pangrango • Papandayan • Pasundan  Probowangi • Progo • Purwojaya

R-S

RanggajatiSancaka • Sawunggalih • SembraniSenja Utama Solo • Senja Utama YogyakartaSerayu  Singasari • Sritanjung  

T-W

TaksakaTawangalun • Tawang Jaya • Tegal Bahari • Turangga • Wijayakusuma 

Fakta Daerah

Aceh • Sumut • Sumbar • Riau • Jambi • Bengkulu • Sumsel • Lampung • Kepri • Babel • Banten • DKJ • Jabar • Jateng • DIY • Jatim • Bali • NTB • NTT • Kalbar • Kalteng • Kalsel • Kaltim • Kaltara • Sulut • Sulsel • Sulteng • Sulbar • Sultra • Gorontalo • Malut • Maluku • Papua • Pabar • PBD • Pateng • Papeg • Pasel