Desa Koto Gadang, atau yang kini disebut Nagari Koto Gadang, adalah sebuah Nagari (sebutan desa di Sumatera Barat) yang terletak di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Kisahnya muncul dalam laporan Majalah Kartini Edisi No. 352 16-29 Mei 1988. Berikut isi laporan selengkapnya di Printilan.com
Hanya Ramai pada Ramadan
Walaupun hanya sebuah desa kecil, namun Koto Gadang bagaikan gudang kaum cendekiawan dan tokoh-tokoh terkemuka. Sebutkan saja nama-nama seperti Haji Agus Salim, Sutan Syahrir, Rohana Kudus, dan Prof. Dr. Emil Salim, niscaya orang akan teringat pada Koto Gadang. Kampung yang dahulu dihuni oleh para ambtenar dan pelajar. Kini Koto Gadang hanya dihuni oleh kaum manula. Pada hari lebaran, barulah Koto Gadang meriah. Saat anak Nagari pulang ke tanah leluhur untuk berhalal bihalal.
Desa Koto Gadang termasuk dalam Kabupaten Agam Sumatera Barat. Dari Kota Bukittinggi, ibukota kabupaten, jaraknya hanya “sepelempar batu” karena hanya dibatasi Ngarai Sianok nan elok itu. Bila menggunakan kendaraan dari Bukittinggi paling-paling hanya memakan waktu sekitar setengah jam. Akan tetapi warganya lebih suka melintasi Ngarai Sianok melalui tangga-tangga di tebing. Baik ketika hendak ke Bukittinggi. maupun sewaktu pulang.
Kota gadang dalam bahasa Indonesia berarti kota besar. Dalam bahasa Melayu disebut kota gedang. Namun Koto Gadang bukanlah sebuah kota besar atau bekas kota. Koto Gadang tak lebih dari sekedar desa kecil yang ditata seperti layaknya sebuah kota. Di sini tidak ada pasar, tidak ada terminal, tidak ada pelabuhan, akan tetapi inilah desa yang sejak berbilang tahun nan lampau sudah memiliki distribusi air ledeng sendiri. Juga agaknya merupakan desa pertama yang menikmati listrik. Dan hebatnya lagi juga disebut-sebut sebagai desa pertama yang memiliki alat komunikasi modern, telepon. Desa Koto Gadang adalah sebuah desa yang pernah menerapkan sistem pemerintahan lengkap dan mampu mengurus dirinya sendiri.
Gudang Intelektual
Leluhur orang-orang Koto Gadang ternyata cukup pandai memilih tempat bermukim. Koto Gadang terletak di dataran tinggi sawah-sawah yang menghampar luas disangga Gunung Singgalang. Sungguh elok panorama di sana. Dan desa ini dipercantik lagi oleh rumah-rumah beton yang ditata apik dan jalan-jalan desa yang bersih. Di gerbang desa terdapat petunjuk arah jalan dengan nama putra negeri: H. Agus Salim, St. Syahrir, Y. Dt. Kayo, dan Mr. Dr. Mohd Zazif.
Baca juga: Deng Xiaoping, Si Jarum Dalam Kapas
Koto Gadang sudah melahirkan sejumlah tokoh dan orang-orang terkemuka. Sehingga pantaslah kiranya bila desa kecil ini disebut sebagai gudang intelektual. Sebetulnya masih banyak tokoh yang berasal dari desa ini namun kurang dikenal oleh masyarakat luas. Yang menarik adalah mengapa tingkat intelektual masyarakatnya tinggi. Karena masyarakatnya bersikap terbuka bila menerima sesuatu yang baru dan memiliki semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu. Para manulanya sedikitnya menguasai satu bahasa asing. Yang pasti mereka pasti berbahasa Belanda. Itulah semangat untuk membangun sebuah Citra
Citra itu sekarang sudah melekat. Tak pelak lagi, setiap anggota masyarakat dengan bangga menyebut dirinya berasal dari Koto Gadang, baik generasi tua maupun generasi mudanya.
Awal intelektualitas warga Desa Koto Gadang
Kesadaran yang tinggi dalam menuntut ilmu sudah ada sejak zaman Padri. Kaum Padri, banyak menulis buku dengan teks Arab. Dari buku-buku Padri tersebutlah mulainya masyarakat Koto Gadang menimba ilmu. Antara Kaum Padri dengan Kaum Adat terjadi pertentangan. Kaum Padri yang menyebarkan agama yang sangat keras ditantang oleh kaum adat yang juga keras.
Pada bulan Mei 1819 Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda di Padang. Selain menanam kekuasaan, juga memperkenalkan pendidikan barat. Belanda memberikan pendidikan kepada rakyat tanpa bertujuan mencerdaskan rakyat. Tetapi hanya untuk keperluan tenaga terampil di bidang administrasi. Masyarakat tidak mau menerima pendidikan barat, karena waktu itu masyarakat beranggapan bahwa segala sesuatu yang berbau kulit putih itu kafir. Begitu ekstrimnya masyarakat, huruf latin pun diharamkan untuk dipelajari. Ini semua akibat ajaran Kaum Padri yang sangat fanatik. Tetapi tidak demikian halnya dengan masyarakat Koto Gadang. Mereka lebih terbuka dan sadar dalam menerima pendidikan barat yang dibawa Belanda.
Pertentangan kedua kaum sudah menjurus kepada perang saudara. Sudah menjadi klise bila kedua belah pihak saling minta bantuan kepada Belanda. Karena Belanda memerintah semakin keras, dan mengadu domba pihak-pihak yang saling bermusuhan. Membuat Kaum Adat dan Kaum Padri bersatu berbalik menantang Belanda. Belanda kerepotan menghadapi pemberontak ini. Akhirnya, Belanda minta bantuan masyarakat Koto Gadang untuk memerangi pemberontakan. Atas kerjasama ini dibuatlah perjanjian antara Belanda dengan Desa Koto Gadang. Perjanjian tersebut berisi kesepakatan untuk saling membantu bila salah satu pihak mendapat kesulitan. Maka jadilah Koto Gadang sebagai anak emasnya Belanda.
Lembaga pendidikan di Koto Gadang
Sebagai balas jasa, Belanda memberi kesempatan seluas-luasnya bagi anak-anak Koto Gadang untuk mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah Belanda. Kesempatan belajar ini tidak hanya diberikan kepada anak Demang tetapi juga bagi rakyat biasa. Peluang ini tidak disia-siakan oleh masyarakat Koto Gadang. Di Bukittinggi, Belanda mendirikan HIS, MULO, dan Sekolah Demang. Tidak mengherankan bila sekolah Belanda ini didominasi oleh anak Desa Koto Gadang. Karena anak-anak tidak tertampung di sekolah Belanda di Bukittinggi, masyarakat Koto Gadang meminta kepada Belanda supaya di desanya didirikan sekolah HIS. Pengajarnya adalah putra desa sendiri. Haji Agus Salim pernah pula mengajar di HIS Koto Gadang sepulang ia dari Mekah. Yang bersekolah di HIS Koto Gadang tidak terbatas anak-anak Koto Gadang sendiri, melainkan juga menerima murid dari daerah lain.
Halal Bihalal di Tanah Leluhur
Lengang. Tidak ada kesibukan. Tidak ada orang yang lalu lalang. Dan Tidak ada anak-anak bermain di pekarangan. Yang bisa disaksikan hanyalah rumah-rumah yang kosong ditinggal pemiliknya, dan beberapa orang tua yang duduk-duduk di balai desa. Bila melihat orang lewat atau ada rumah yang berpenghuni, jangan dikira bahwa mereka penduduk asli Koto Gadang. Mereka bisa saja para pendatang yang tinggal di desa. Sekarang, Koto Gadang lebih banyak dihuni pendatang dari daerah sekitarnya. Mereka adalah penggarap sawah dan penghuni rumah yang ditinggal pemiliknya. Mau melihat pemudanya? Sulit menemukannya.
Sejalan dengan tradisi di Minangkabau di mana masyarakatnya gemar merantau. Tidak mengherankan bila banyak anak muda yang meninggalkan kampung. Merantau bagi orang Minang sama dengan mencari ilmu pengetahuan. Dilihat dari kemauan keras masyarakat Koto Gadang dalam menimba ilmu, tidak mengherankan bila mereka merantau sampai melampaui batas negara. Ironisnya setelah selesai menuntut ilmu, tidak ada yang mau kembali ke kampung halamannya. Setelah tua pun mereka menetap di rantau.
Baca juga: Kyai Joyolalono (Djojolelono), Bupati Pertama Probolinggo
Orang-orang tua yang tinggal di kampung kini yang ada 160 pasang suami istri. Ditambah dengan para pendatang sebagai penggerak sawah dan penghuni rumah sekitar 1000 orang. Warga Koto Gadang yang merantau di beberapa tempat berjumlah 15.000 jiwa. Datuk sebagai Ninik Mamak yang berjumlah 22 orang malah ikut merantau.
Yang masih tinggal di sana
Tinggallah beberapa orang tua yang menghabiskan hari tuanya di bumi kelahirannya, jauh dari anak cucu dan kerabat, ”Kami adalah museum tua yang menunggu saatnya tiba”, ujar Saiful Yozar (75 tahun), pensiunan guru bahasa Jerman yang kini menjadi aparat desa Koto Gadang. Bisa dimaklumi bila orang tua yang kesepian itu menggugat orang Rantau agar lebih banyak memikirkan kampung halamannya.
Yang lebih merisaukan, siapa yang bakal memimpin desa bila orang tua yang tinggal sekarang meninggal. Apakah jabatan pemimpin desa ini akan diserahkan kepada pendatang? Inilah kenyataan yang sulit diterima warga Koto Gadang, yang selama ini begitu bangga dengan kebesaran nama desanya. “Ini bukan masalah yang sederhana bagi kami. Apakah negeri ini akan diserahkan kepada orang lain. Bukankah itu memalukan?” demikian keresahan Novezar (70 tahun), pensiunan Dinas Pertanian. Novezar yang sesepuh desa ini, beralasan ia cukup resah “Kami tidak menyalahkan yang muda-muda, mereka sedang berjuang. Tapi yang tua-tua setelah pensiun kenapa tidak pulang ke kampung?” ujar Novezar yang banyak tahu tentang desanya.
Novezar sendiri sangat rajin mengumpulkan catatan-catatan lama tentang Desa Koto Gadang yang kemudian disusunnya kembali. “Ini adalah untuk anak cucu Koto Gadang nantinya,” jelas Novezar sambil menempuh tumpukan buku majalah dan lembaran kertas yang sudah menguning tentang Desa Koto Gadang di rumahnya.
Lebaran di Koto Gadang
Toh, bila terjadi keramaian di desa ini hanya sekali setahun. Yaitu beberapa hari sebelum lebaran, atau tepat hari lebaran. Pada hari-hari menjelang lebaran, anak rantau pulang kampung. Lebaran usai, kampung kembali sepi. Acara halal bihalal sudah menjadi acara rutin setiap tahun bagi sesama perantau. Dan antara perantau dengan yang menunggui kampung. Tidak kurang dari Prof. Dr. Emil Salim yang menyempatkan diri pulang kampung di hari lebaran. Pada saat-saat itulah jalanan ramai oleh warga desa, pekarangan riuh oleh anak-anak bermain, rumah-rumah menjadi hidup karena jendela jendelanya terbuka, saat itu Koto Gadang tampil utuh sebagai desa cantik yang marak.
Bagi penunggu kampung yang setia, lebaran punya makna yang besar. Bertemu dengan anak cucu dan menantu, bertemu dengan teman bermain masa kecil, berjumpa dengan bekas guru, orang tua bernostalgia kebesaran masa lalu, anak-anak kagum mendengarkan cerita kakeknya.
Sungguh pun hanya bertemu beberapa hari dalam setahun, tali batin dengan kerabat di rantau tidak putus. Selain melalui surat-menyurat, desa ini juga memiliki telepon sejak tahun 1966, yang dipasang di balai desa. Selama kantor balai desa masih dibuka, orang-orang tua berkumpul menunggu deringan telepon dari anak cucu yang jauh di rantau.
Ekses dari pendidikan
Koto Gadang tidak hanya dikenal sebagai tempat lahirnya orang-orang besar, melainkan juga sangat terkenal dengan kerajinan perak, emas, sulaman, dan tenunannya tidak hanya dikenal dalam negeri, juga dikenal sampai ke negara Belanda, Jerman, Jepang, dan Malaysia.
Tersebutlah nama Rohana Kudus, putri Koto Gadang yang telah membangun citra kerajinan Koto Gadang. Rohana Kudus adalah pendiri organisasi wanita pertama yang bernama Amai Setia, penggerak kemajuan wanita Minangkabau khususnya wanita Koto Gadang, dan wartawati pertama Indonesia yang pernah menjadi pemimpin redaksi SKM (surat kabar mingguan) Sunting Melayu di Padang tahun 1912. Rohana Kudus lahir pada tahun 1884 dan meninggal pada tahun 1974.
Kerajinan Amai Setia didirikan pada tahun 1911, sampai sekarang masih aktif. Anggotanya adalah seluruh wanita Koto Gadang. Bulan Ramadan merupakan kesibukan luar biasa bagi anggotanya dalam menyiapkan kebutuhan masyarakat terhadap pakaian dan perhiasan untuk lebaran.
Sesungguhnya dibalik ketenaran kerajinan Koto Gadang itu ada beberapa keahlian yang dulu dimiliki, kini hilang. Yang lenyap itu seperti keahlian mengukir perak dengan tangan, kerajinan emas klasik, dan tenun Koto Gadang. Bila ada yang bermerek Koto Gadang itu pasti palsu dan mutunya buruk sekali. Tenun misalnya, kini tinggal nama besar. Demikian pula dengan kerajinan pahat perak dan emas. Yang tinggal hanya kerajinan perak perhiasan dan sulaman.
Inilah ekses dari semangat menuntut ilmu bagi wanita Koto Gadang, sehingga keterampilan khas Koto Gadang punah. Saya sedih sekali mengingatnya kebanggaan lain dari Koto Gadang hilang ini akibat pendidikan tadi, sehingga kita lupa pada peninggalan leluhur yang bermutu tinggi” ujar Novezar di gedung Amai Setia.
Tinggal Nama Besar
Sekarang Koto Gadang memiliki aset 500 orang sarjana. Hanya satu orang yang masih tetap bertahan di desa. Tidak satupun anak-anak atau Koto Gadang yang tidak bersekolah. Tetapi yang memiliki bakat besar seperti leluhur mereka? Anehnya orang-orang Koto Gadang sendiri menjadi ragu. “Mungkin karena zamannya berbeda dan motivasi juga sudah lain”, kata Novezar. Baik Novezar, maupu Yozar, yang sesepuh Koto Gadang ini mengakui bahwa Prof. Dr. Emil Salim merupakan orang terakhir dari Koto Gadang yang masih membawa panji kebesaran Desa Koto Gadang. Inilah tanggung jawab Anak Desa Koto Gadang yang menyandang gelar terhormat sebagai gudang intelektual. “Sekarang tidak ada lagi terdengar dari suara anak-anak belajar bersama di malam hari,” ungkap Yozar.
Terima kasih telah membaca artikel mengenai Nagari Koto Gadang yang dipost di Printilan.com. Baca arsip berita lama mengenai Sumatera hanya di Printilan.com.