Laporan kunjungan Nani Soedarsono (Menteri Sosial 1983-1988) ke Agats di Irian Jaya (kini masuk Kabupaten Asmat, Provinsi Papua Selatan) dalam rangka meresmikan Pusat Asmat pada 1986. Laporan ini muncul dalam Majalah Kartini edisi No. 314 1-14 Desember 1986. Dan kami munculkan sebagai arsip budaya Asmat.
Bersama-Sama Kita Melaju
Ada memang suara sumbang ketika insan wanita, Ny. Nani Soedarsono menyatakan niatnya hendak membuat sebuah terobosan baru dalam menangani kawasan di Indonesia bagian paling timur ini. “Ibu akan mengerjakan sesuatu yang hasilnya hanya akan sia-sia saja,” begitu terdengar suara yang tidak menyepakati jalan pikirannya. Namun Ny. Nani Soedarsono sang Menteri Sosial itu tetap tegar pada pendiriannya. “Saya memang lebih memprioritaskan Irian Jaya!” ucapnya tanpa ragu lagi.
Baca juga: Kyai Joyolalono (Djojolelono), Bupati Pertama Probolinggo
Lalu bertolak dari pemikiran itu pula ia terjunkan ratusan satgas sosial ke pedalaman Irian Jaya sebagai para tenaga penggerak dan pendorong pembangunan, di kawasan yang konon masih tertinggal jauh di belakang itu. Sebaliknya dari daratan itu pula ia pungut puluhan pemuda dan pemudi dikirim ke Pulau Jawa. Untuk mempelajari berbagai keterampilan agar segera dapat diterapkannya di kampung halaman masing-masing.
Hasilnya Barangkali belum begitu pasti, tapi sudah mulai tampak. Setiap gerak dan langkah Ny. Nani Soedarsono di pulau ini di elu-elukan; baik ketika ia berada di Jayapura, di Timika, di Biak, di Skou, di Agats, atau di tempat-tempat terpencil lainnya. Di Agats misalnya, ratusan biduk dan sampan menyambutnya. Gema suara terpadu dari gabungan nada ritmis dan kayuhan dayung terasa amat mempesona. Lalu sebentar-sebentar terdengar serempak suara dan pekikan ho… ho… ho… Mengiringi kayuhan demi kayuhan dayung yang dilakukan oleh orang-orang Asmat di Sungai Asuwet tempat berpacu ribuan dayung dalam ratusan biduk yang disebut sebagai “Ci”.
Lembaran Baru Asmat
Barangkali belum pernah sebelumnya terlihat suatu kegiatan luar biasa yang serempak dan bersamaan di berbagai penjuru pedalaman Asmat maupun kehadiran mereka di lokasi Pusat Asmat Agats dalam beberapa bulan terakhir ini. Baik dalam merampungkan Pusat Asmat itu sendiri maupun dalam mempersiapkan peresmiannya hingga tanggal 28 Oktober yang lalu. Suatu pesta besar, dan konon terbesar di pedalaman Irian Jaya, benar-benar berlangsung. Pesta itu merupakan peresmian perkampungan contoh Pusat Asmat.
Bukan hanya Suku Asmat asli yang ada di tengah pesta itu. Puluhan turis dan beberapa antropolog juga hadir. Bahkan beberapa orang di luar suku itu ada juga yang dinobatkan menjadi warga Asmat. Ada misalnya Papa Piara Beorpits Kharis Suhud (Anggota DPR Fraksi ABRI – printl), Mama Piara Bisawots Ny. Nani Soedarsono, Kakak Piara Cowots Biwar Haryati Soebadio (Dirjen Kebudayaan Departemen P & K – printl), Egnie Sugoyono, Asorakap Syarief Tando (pebisnis – printl) dan Yoerat Andreas Soenarto (Bupati Nabire – printl).
Baca juga: Deng Xiaoping, Si Jarum Dalam Kapas
Adalah suatu kebanggaan bagi Suku Asmat menyaksikan dan mereguk jiwa upacara itu, seirama dengan harga kehormatan yang mereka berikan kepada anggota keluarga baru mereka. Yang kebanyakan para pejabat dan orang-orang ternama yang tinggal ribuan kilometer jaraknya dari tempat kehidupan mereka.
Arsip Budaya Asmat : Asmat, meninggalkan keterpencilan
“Pesta rampungnya serta diresmikannya pusat Asmat bagi kita orang asmat adalah terlalu pantas dan layak untuk kita rayakan. Karena hal ini merupakan lembaran baru sejarah atau awal usaha bagi pengembangan dan kemajuan, dari, oleh, dan untuk kami Orang Asmat sendiri”, ucap seorang tetua Asmat di lokasi pusat Asmat baru-baru ini.
Memang demikianlah adanya apa yang diucapkan tetua Asmat di atas, karena selama ini Asmat yang dikenal atau yang diperkenalkan oleh orang luar bagi orang luar yaitu suatu daerah yang terpencil dan terisolasi di pedalaman Irian Jaya. Yang hidup di alam keras tanah rawa lumpur yang tidak menguntungkan bagi kehidupan. Dengan peradaban “primitif” yang sudah teramat langka di muka bumi ini. Maka dengan demikian Asmat di suatu pihak dianggap sebagai beban. Di mana manusianya harus cepat dididik untuk jadi orang. Atau di lain pihak dijadikan objek peradaban bagi pemenuhan keingin-tahuan (curiousity) manusia beradab lainnya.
Arsip Budaya Asmat : Orang Asmat, si manusia sejati
Sebaliknya, Orang Asmat sendiri dengan bangga menamakan dirinya si manusia sejati, hidup di alam yang penuh kelimpahan bersama leluhurnya. Dan karena itu selalu menjaga keseimbangan hubungan dengan cosmos mereka ini. Sementara itu orang asmat di dalam menghadapi benturan-benturan sosial sebab akibat masuknya pengaruh luar sejak beberapa masa akhir-akhir ini berupaya dan berpikir keras mencari jalan keluar untuk sambil mempertahankan keberadaan dan budaya mereka. Siap pula menerima pembaharuan dan ikut aktif dalam membangun mengembangkan serta memajukan daerahnya.
Dari sikap inilah, dua tahun yang lalu mulai mengupayakan usaha bersama swadaya Asmat dengan mengukuhkan sebuah yayasan miliknya sendiri yaitu Yayasan Pengembangan dan Kemajuan Asmat (YAPKA).
Pusat Asmat
Pusat Asmat tak lain adalah wadah dan sarana bagi usaha bersama Swadaya atau sebagai “Ci” atau Biduk untuk bersama di dayung menuju ke tanjung pengembangan dan kemajuan Asmat. Segera dibangun dalam area hutan seluas 5 ha di Agats sejak Agustus 1985. Dan bersamaan dengan itu pula perangkat lembut Pusat Asmat ini diterobos menembus ke terisolasian dibangun yaitu hubungan sampai ke Ibukota Jakarta.
Maka peresmian pusat Asmat atau Lembaran Baru Asmat tak lain adalah titik temu antara usaha Swadaya Asmat melalui pusat Asmat dengan hubungannya di atas; suatu dasar wawasan nusantara kita terwujud: Bagi Asmat sendiri timbul kebanggaan sebagai bagian dari bangsa besar Indonesia dan sebaliknya bagi kita suatu kesadaran akan kebesaran budaya bangsa melalui partikel mozaik Bhineka Tunggal Ika.
Swadaya
Kebanggaan besar pembangunan Pusat Asmat, maupun promosi hubungan adalah diupayakan dengan kemampuan sendiri. Baik berupa bahan bangunan dan pembiayaan yang dihasilkan dari promosi seni ukir, maupun tenaga masyarakat. Yang berhasil mewujudkan semua itu dalam waktu relatif singkat dalam 14 bulan ini.
Bantuan luar baik materi, dan dana, maupun dorongan spiritual merupakan substitusi dari kemampuan sendiri tersebut di atas. Maka dengan demikian kepercayaan diri Orang Asmat timbul segar kembali, setelah beberapa waktu lamanya berada di persimpangan jalan. Dikarenakan benturan-benturan sosial masuknya pengaruh luar di atas.
Wajar dan pantaslah kita semua ikut memeriahkan bersama saudara kita Orang Asmat pada peresmian Pusat Asmat, Pusat Usaha Swadaya, dan Lembaran Baru Asmat. Sebagaimana bunyi spanduk yang direntangkan mereka “BERSAMA-SAMA KITA MELAJU” (MJ/RSK).
Terima kasih telah membaca artikel mengenai Arsip Budaya Asmat yang dipost di Printilan.com. Baca arsip berita lama mengenai Papua hanya di Printilan.com.