ARSIP : Seri Hamengkubuwono IX Wafat, Mereka Punya Hak Yang Sama

by | Jan 12, 2024 | Jawa | 0 comments

Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang merupakan Raja Yogyakarta di era Perang Kemerdekaan dan Wakil Presiden Indonesia, wafat atau mangkat pada tahun 1988. Artikelnya muncul dalam laporan utama Majalah Tempo dengan judul asli Mereka Punya Hak Yang Sama. Berikut tulisan selengkapnya:

Kereta Kiai Rata Pralaya, salah satu kereta pembawa jenazah Sultan HB IX. DOK TEMPO
Kereta Kiai Rata Pralaya, salah satu kereta pembawa jenazah Sultan HB IX. DOK TEMPO

Ada beberapa nama yang disebut diangkat menjadi Hamengkubuwono X. Musyawarah keluarga setelah berakhirnya masa berkabung yang akan menentukan.

Jauh hari sebelum wafat, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, ternyata telah memikirkan soal kelanjutan takhta dan masalah status Daerah Istimewa untuk Yogyakarta. Sultan misalnya pernah memanggil empat orang putranya satu persatu, konon untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut rencana Sultan untuk menobatkan seorang putra mahkota akhir tahun nanti. Keempat pangeran yang dipanggil itu adalah Mangkubumi, Hadikusumo, Hadiwinito, dan Joyokusumo. Diantara merekalah sang calon Hamengkubuwono X itu.

Baca juga : Di Seputar Wasiat Takhta Yogya

Lantaran tak ada isyarat yang jelas masyarakat pun mulai menebak-nebak berikut profil mereka dan yang lain:

KGPH Haji Mangkubumi
Dialah yang mewakili keluarga menerima jenazah Sultan dari Menko Kesra Supardjo Rustam, selaku wakil pemerintah. Dia pula yang menyambut kedatangan presiden dan Ny. Tien Soeharto, di pelataran keraton, ketika kepala negara itu datang melayat. Tak mengherankan sebagai putra laki-laki tertua, 15 tahun silam, Mangkubumi telah diangkat menjadi “lurah pangeran” yang dituakan diantara putra yang lain.

Mangkubumi lahir dari garwa kedua Sultan, Kanjeng Raden Ayu (KRAy) Windyaningrum, 2 Maret 1946. Herjuno Darpito adalah nama yang diberikan oleh Sultan kepada putra kelima ini.

Ketika masih balita, Herjuno dipercayaKan Sultan kepada Ki Juru Permana, kini 70 tahun, untuk diasuh dan digembleng menjadi bocah yang berbudi. Sejak itu Herjuno kecil sering dibawa ke rumah siwo, begitu Mangkubumi memanggil Ki Juru, di Dusun Besuli, Kecamatan Gamping, Sleman.

Ki Juru Permana mengaku sering tirakat untuk anak asuhnya itu. Suatu kali dia berendam 3 hari 3 malam di Kali Larangan yang membelah Gamping. Alhasil, kata Ki Juru, turunlah sebuah wangsit untuk memberi nama baru bagi Herjuno. Atas persetujuan Sultan, Mangkubumi, Yang ketika itu berumur 4 tahun mendapat nama baru Herjuno Suryoalam.

Baca juga: Kyai Joyolalono (Djojolelono), Bupati Pertama Probolinggo

Tahun 1973, ketika Herjuno hendak diangkat menjadi pangeran, lagi-lagi Ki Juru yang sibuk mencari nama. Setelah bikin selamatan segala, kembali dia menemukan nama untuk anak asuhnya itu, Mangkubumi. Lagi-lagi Sultan setuju. Ketika itu pula, tutur Ki Juru, Sultan berpesan supaya Mas Mangku -begitu nama panggilan Mangkubumi- kembali di gembleng agar menjadi manusia bijaksana.

Kini Mangkubumi, alumnus Fakultas Hukum UGM, sehari-harinya adalah Direktur Utama PT Punakawan yang bergerak di ladang jasa konstruksi. Dia juga terpilih menjadi ketua DPD Golkar DIY. Selain anggota DPR RI dan Ketua Kadinda Yogya. Menikah dengan Tati Drajat, Mangkubumi dikaruniai lima anak, semuanya perempuan.

Tentang wasiat Sultan, Mas Mangku memilih bungkam. Dia paling santer disebut-sebut sebagai calon pengganti Sultan. Kalaupun ada keberatan, kata sumber di keraton, pangkalnya: Mas mangku tak punya anak laki-laki.

Baca juga: Deng Xiaoping, Si Jarum Dalam Kapas

GBPH Hadikusumo
Ketika belum bergelar pangeran, dia bernama Bandoro Raden Mas (BRM) Murtyanto. “Saya 6 bulan lebih muda dari Kang Mas Mangku”, tutur putra ke empat KRAy Pintokopurnomo, istri pertama Sultan, diyakini juga disebut punya kans besar untuk memimpin kasultanan.

Hadikusumo, di tengah-tengah warga Keraton Yogya. DOK TEMPO (Goenawan Mohamad)
Hadikusumo, di tengah-tengah warga Keraton Yogya. DOK TEMPO (Goenawan Mohamad)

Hadikusumo mengaku bertemu dengan ayahandanya 5 September lalu, menjelang keberangkatan Sultan ke Jepang yang kemudian dilanjutkan ke Amerika. Ketika itu Hadikusumo mendapat panggilan mendadak dari Sultan lewat telepon. Lantas, Hadi pun terbang ke Jakarta dan menemui ayahandanya di Jalan Halimun. “Di situ kami bicara hampir dua setengah jam”, tuturnya.

Tentang wasiat apa yang disampaikan oleh Sultan, Hadi enggan bicara. “Tentang pengganti Sultan itu harus dibicarakan dulu dengan keluarga”, ujarnya. “Saya tak punya cita-cita setinggi itu”, ujarnya.

Hadikusumo, alumnus FH UGM 1980, kini aktif memimpin Universitas Proklamasi Yogya. Selain rektor, dia juga menyandang pimpinan Kuartir Cabang Pramuka DIY, dan memimpin beberapa buah perusahaan, diantaranya sebuah perkebunan cengkeh di daerah Boja, Kabupaten Semarang.

Hadikusumo juga punya kelemahan yang bisa mengganjalnya untuk menggantikan ayahandanya. Pernikahannya dengan Dra Sri hardani belum memberinya anak laki-laki.

GBPH Prabukusumo
Berkumis dan agak kerempeng, rambutnya yang tebal berombak dibiarkannya sedikit gondrong, itulah Prabukusumo, putra sulung dari KRAy Hastungkoro, garwa ketiga Sultan. Bila ngomong, Prabu suka blak-blakan. Kendati namanya masuk nominasi, dia tak menunjukkan ambisinya untuk tampil sebagai Sultan baru. “Saya jamin Prabukusumo tidak akan menjadi HB X”, ujarnya ringan.

Prabu, yang lahir 22 Desember 1952, sebelum mendapat gelar Pangeran bernama BRM Harumanto. Hobinya badminton dan bela diri, tapi bukan pencak silat, melainkan taekwondo. Selain menjabat Ketua Karang Taruna DIY, ia juga dipercaya menjadi Ketua Pengurus Daerah (Pengda) Taekwondo, dan merangkap pula menjadi Ketua PBSI DIY.

Tugas akhirnya di Fakultas Psikologi UGM dia tinggalkan, tahun 1981, lantaran sibuk berwiraswasta. “Ketika itu saya memutuskan untuk bekerja”, tuturnya. Tindakan Prabu itu toh tak mengundang kemarahan Sultan.

Kini Prabu memimpin sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi dan perdagangan di Yogya. Prabu menikah dengan Roeswarini, 34 tahun. Dan kini dikaruniai satu anak laki-laki dan satu perempuan. Bagi dia siapapun yang jadi HB X tidak dipersoalkan, “Pokoknya asal berbobot, mampu bergaul dengan kalangan atas dan bawah, berwibawa, dan bisa menjadi suri teladan buat semuanya”, ujarnya kalem.

GBPH Pakuningrat
Namanya juga disebut-sebut sebagai kandidat Sultan. Tapi, Pakuningrat, anak sulung dari almarhumah KRAy Ciptomurti, istri keempat HB IX, tampak tenang-tenang saja. “Sungguh saya nggak punya pikiran ke sana. Yang jelas minat saya ke sektor swasta saja, tidak di pemerintahan, tidak juga di keraton”, ujarnya.

Pakuningrat adalah salah satu dari empat pangeran yang menikah di depan jenazah Sultan. Dua pekan lalu, Nurita Afridiani, 26 tahun, yang menjadi gadis pilihannya. Bagi Rita pembawaan suaminya itu bersahaja, tak suka menunjukkan kepangeranannya. “Mas Paku biasa-biasa saja, tak pernah membuat jarak”, ujar lulusan Akademi Sekretaris ini.

BRM Anindito adalah nama Pakuningrat sebelum mendapat gelar pangeran. Masa kecil dan remajanya dilewatkan di Jakarta. Lulus dari SMA IV Jakarta, Anindito yang lahir 22 November, hampir 31 tahun lalu itu melanjutkan sekolahnya ke Geodesi ITB. Sampai semester VII dia cabut dari kampus, “Keburu asik berwiraswasta”, tuturnya.

Pakuningrat menjadi pimpinan di dua buah perusahaan. Di PT Aguna Krida Pratama, bergerak di bidang konstruksi dan supplier, dia memanggul jabatan direktur teknik. Lantas, di PT Dawuh Prabu Anom yang berlogo keris dan sayap burung, Pakuningrat menjabat sebagai Direktur Utama. PT Prabu Anom yang diambil dari nama keris pusakanya, bergerak antara lain di bidang percetakan.

Tentang pewaris takhta HB IX, Anindito tak bersedia berpendapat. Yang jelas dia ingin mewarisi sifat sultan yang dianggapnya bijaksana, “Sampai saya dewasa seperti sekarang belum pernah sekalipun saya dimarahi bapak”, tuturnya.

Baca juga : Barangkali Keris Itu Tak Perlu Lagi

GBPH Hadiwinoto
Dia dikenal hangat dalam pergaulan, dan ramah dengan siapapun. Wajahnya mirip betul dengan Mangkubumi hanya kulitnya saja lebih gelap. Itulah Hadiwinoto, adik Mangkubumi, yang sama-sama lahir dari KRAy Windyaningrum. Hadi juga disebut punya peluang melangkah ke Singgasana. Juni lalu Hadi dipanggil Sultan ke Jakarta. “Saya Mendapat tugas untuk membuat gambar”, ujarnya. Rupanya Sultan meminta Hadi untuk memilih sebuah bangunan di lingkungan istana yang bisa dirombak untuk menjadi rumah tinggal.

(Dari kiri) Mangkubumi, Hadiwinoto, Joyokusumo. DOK TEMPO (Agus Leonardus)
(Dari kiri) Mangkubumi, Hadiwinoto, Joyokusumo. DOK TEMPO (Agus Leonardus)

Kabarnya Sultan memang berniat meletakkan jabatan dan menunjuk penggantinya. Lalu rumah tinggal resmi Sultan diserahkan kepada raja baru, dan HB IX sendiri, bila di Jogja menempati rumah baru itu.

Di saat-saat berkabung tempo hari Hadi adalah salah seorang pangeran yang paling sibuk. Maklum dalam kepengurusan istana dia menjabat Pengageng Tepas Wahono Sarto Kriyo, yang mengurus soal bangunan dan fasilitas transportasi Keraton. Sekaligus merangkap sebagai Pengageng Tepas Halpitopuro, yang mengurus kebutuhan sesaji.

Di luar pagar istana, Hadi yang dahulu bernama BRM Ibnuprastowo, juga punya banyak kegiatan. Dia menjabat General Manager Sri Manganti, hotel berbintang dua milik kasultanan. Hadi juga menjabat Wakil Ketua Kadinda DIY, Anggota DPRD Tingkat I DIY, sekaligus Ketua Umum Pengurus Golkar Kodya Yogyakarta. Menikah dengan gadis asli Yogya, Ari Yuni Utari, Hadi, 40 tahun, kini mempunyai sepasang anak laki dan perempuan.

GBPH Joyokusumo
Bertubuh gempal, humoris, dan suaranya serak-serak basah, dialah Joyokusumo, putra bungsu dari almarhumah KRAy Windyaningrum.

Sekolahnya Fakultas Ekonomi UGM putus di tengah jalan. Tapi kariernya di dunia usaha dan organisasi pemuda berjalan mulus. Kini, Joyo, 33 tahun, memimpin CV Aji Buana Perkasa, mengetuai KNPI, dan Hipmi DIY, di samping menjabat Wakil Ketua DPRD Kodya Yogyakarta.

Dalam tembok istana, Joyo menjabat Pengageng Tepas Widarto, yang mengurus kesejahteraan abdi dalem. Di samping dipercayai menjadi “narpo cundoko” alias ajudan Sultan. Sebagai narpo cundoko, “Tugasnya mendampingi bapak dalam berbagai kegiatan keraton”, ujarnya kepada Hedy Lugito dari Tempo.

Joyo yakin bahwa telah lama HB IX memikirkan putra mahkota. Hanya saja dalam soal yang satu itu, dia tak pernah diajak ngomong. Juni lalu bersama kedua abangnya, Mangkubumi dan Hadiwinoto, Joyo dipanggil ke Jakarta. “Pada pertemuan itu saya diminta mencari arsip tentang pranatan pengangkatan putra mahkota”, tuturnya.

Tugas pertama belum selesai, datang tugas tambahan. Dia diminta mencari arsip tentang pranatan prosesi pernikahan para pangeran. “Yang belakangan ini lebih mudah dicari, tapi sampai sekarang arsip pranatan pengangkatan mahkota itu belum ketemu”, tuturnya.

Sumber : Laporan Utama. Majalah TEMPO No. 34. Th. XVIII. 22 Oktober 1988

English text:

ARCHIVE : They Share Equal Rights

Several names have been mentioned as potential successors to Hamengkubuwono X. A family council will convene after the mourning period to make the decisive decision.

Long before his passing, Sri Sultan Hamengkubuwono IX had contemplated the succession of the throne and the status of the Special Region of Yogyakarta. The Sultan, for instance, summoned his four sons individually, presumably to discuss plans for appointing a crown prince by the end of the year. The four princes called were Mangkubumi, Hadikusumo, Hadiwinito, and Joyokusumo. Among them lies the potential successor to the title of Hamengkubuwono X.

Due to the absence of clear signals, the public began speculating about their profiles and others:

KGPH Mangkubumi
“He is the one who represented the family in receiving the Sultan’s remains from Minister of State for People’s Welfare, Supardjo Rustam, the government representative. He also welcomed the President and Mrs. Tien Soeharto in the palace courtyard when the head of state came to pay respects. Not surprisingly, as the eldest son, 15 years ago, Mangkubumi was appointed as the revered ‘lurah pangeran’ among his siblings.

Mangkubumi, born to the Sultan’s second wife, Kanjeng Raden Ayu (KRAy) Windyaningrum, on March 2, 1946, was given the name Herjuno Darpito by the Sultan.

When he was still a toddler, Herjuno was entrusted by the Sultan to Ki Juru Permana, now 70 years old, to be nurtured and shaped into a well-mannered child. Since then, young Herjuno was often taken to Siwo’s house, as Mangkubumi called Ki Juru, in Besuli Hamlet, Gamping District, Sleman.

Ki Juru Permana admitted to frequently undertaking spiritual practices for his foster child. Once, he immersed himself for 3 days and 3 nights in the Larangan River that cuts through Gamping. As a result, according to Ki Juru, a divine inspiration came down to give a new name to Herjuno. With the Sultan’s approval, Mangkubumi, who was 4 years old at the time, received the new name Herjuno Suryoalam.

In 1973, when Herjuno was about to be appointed as a prince, once again, Ki Juru was busy searching for a name. After conducting various ceremonies, he found a name for his foster child, Mangkubumi. Again, the Sultan agreed. At that time, Ki Juru mentioned that the Sultan advised Mas Mangku – as Mangkubumi is affectionately called – to return for further guidance to become a wise person.

Now, Mangkubumi, a graduate of the Faculty of Law at UGM, is the Chief Executive Officer of PT Punakawan, a company engaged in construction services. He has also been elected as the chairman of the Golkar Regional Board in DIY. In addition to being a member of the National Parliament and Chairman of Kadinda Yogyakarta. Married to Tati Drajat, Mangkubumi is blessed with five children, all of them girls.

Regarding the Sultan’s will, Mas Mangku chooses to remain silent. He is most frequently mentioned as a potential successor to the Sultan. Even if there are objections, according to sources in the palace, the crux of the matter is: Mas Mangku has no male heirs.

GBPH Hadikusumo
Before bearing the title of prince, he was known as Bandoro Raden Mas (BRM) Murtyanto. “I am six months younger than Kang Mas Mangku,” said the fourth son of KRAy Pintokopurnomo, the first wife of the Sultan, believed to have a significant chance of leading the sultanate.

Hadikusumo claimed to have met his father on September 5, just before the Sultan’s departure to Japan, which was then followed by a visit to America. At that time, Hadikusumo received a sudden call from the Sultan. Subsequently, Hadi flew to Jakarta and met his father on Halimun Street. “There, we talked for almost two and a half hours,” he said.

Regarding the Sultan’s will, Hadi refused to speak. “The matter of the Sultan’s successor must be discussed first with the family,” he said. “I don’t have such high aspirations,” he added.

Hadikusumo, a graduate of the Faculty of Law at UGM in 1980, is currently actively leading the Proclamation University in Yogyakarta. In addition to being the rector, he also holds leadership positions in the DIY Scout Branch and leads several companies, including a clove plantation in the Boja area, Semarang Regency.

Hadikusumo also has a weakness that could hinder his succession to his father. His marriage to Dra. Sri Hardani has not yet given him a son.

GBPH Prabukusumo
With a mustache and a somewhat thin stature, Prabukusumo, the eldest son of KRAy Hastungkoro, the third consort of the Sultan, lets his thick wavy hair grow slightly long. When he speaks, Prabu tends to be straightforward. Although his name is in the nomination, he does not show any ambition to emerge as the new Sultan. “I guarantee that Prabukusumo will not become HB X,” he casually remarked.

Prabu, born on December 22, 1952, was known as BRM Harumanto before being bestowed with the title of Prince. His hobbies include badminton and martial arts, specifically taekwondo rather than traditional martial arts like pencak silat. In addition to serving as the head of the Karang Taruna DIY, he is also entrusted with the position of Chairman of the Regional Taekwondo Management (Pengda) and concurrently serves as the Chairman of PBSI DIY.

He abandoned his final project at the Faculty of Psychology UGM in 1981 due to his busy entrepreneurial activities. “At that time, I decided to work,” he said. Nevertheless, Prabu’s actions did not provoke the Sultan’s anger.

Currently, Prabu leads a company engaged in construction and trade in Yogyakarta. Prabu is married to Roeswarini, 34 years old, and is now blessed with a son and a daughter. For him, whoever becomes HB X is not questioned, “As long as they are substantial, able to socialize with both the upper and lower classes, possess dignity, and can serve as a role model for everyone,” he calmly stated.

GBPH Pakuningrat
His name is also mentioned as a candidate for Sultan. However, Pakuningrat, the eldest son of the late KRAy Ciptomurti, the fourth wife of HB IX, appears quite composed. “Honestly, I don’t have any thoughts in that direction. What’s clear is my interest lies in the private sector, not in the government, nor in the palace,” he stated.

Pakuningrat is one of the four princes who got married in front of the Sultan’s remains. Two weeks ago, Nurita Afridiani, 26 years old, became his chosen bride. According to Rita, her husband’s demeanor is unassuming, and he dislikes displaying his royalty. “Mas Paku is just an ordinary person, never creating distance,” said this graduate of the Academy of Secretaries.

BRM Anindito was Pakuningrat’s name before receiving the title of prince. His childhood and adolescence were spent in Jakarta. A graduate of SMA IV Jakarta, Anindito, born on November 22, almost 31 years ago, continued his education in Geodesy at ITB. He dropped out in the seventh semester, “Before I got too engrossed in entrepreneurship,” he said.

Pakuningrat became a leader in two companies. At PT Aguna Krida Pratama, engaged in construction and supplier sectors, he holds the position of technical director. Then, at PT Dawuh Prabu Anom, which has a logo featuring a keris (traditional dagger) and bird wings, Pakuningrat serves as the Chief Executive Officer. PT Prabu Anom, named after its heritage keris, operates, among other things, in the printing industry.

Regarding the heir to the throne of HB IX, Anindito is not willing to express an opinion. What is clear is that he wants to inherit the wise qualities of the Sultan, whom he considers wise, “Until I matured, like now, I have never been scolded by my father,” he said.

GBPH Hadiwinoto
Known for his warmth in social interactions and friendliness towards everyone, Hadiwinoto, Mangkubumi’s younger brother, stands out. His resemblance to Mangkubumi is striking, with only darker skin. That’s Hadiwinoto, born from KRAy Windyaningrum, who is also rumored to have the potential to ascend to the throne. Last June, Sultan summoned Hadi to Jakarta. “I received a task to create drawings,” he said. Apparently, Sultan asked Hadi to choose a building in the palace area that could be renovated for residential purposes.

Rumors have it that Sultan indeed intends to relinquish his position and appoint a successor. Then the Sultan’s official residence is handed over to the new king, and HB IX himself, if in Yogyakarta, occupies the new house.

During the recent mourning period, Hadi was one of the busiest princes. Understandably, in the palace administration, he holds the position of Pengageng Tepas Wahono Sarto Kriyo, overseeing palace buildings and transportation facilities. He also doubles as Pengageng Tepas Halpitopuro, handling offerings.

Outside the palace gates, Hadi, formerly known as BRM Ibnuprastowo, is also involved in numerous activities. He serves as the General Manager of Sri Manganti, a two-star hotel owned by the sultanate. Hadi also holds the position of Vice Chairman of Kadinda DIY, a Member of the Regional People’s Representative Council (DPRD) Level I DIY, and simultaneously serves as the Chairman of the Golkar Organization in the City of Yogyakarta. Married to a native of Yogyakarta, Ari Yuni Utari, the 40-year-old Hadi now has a pair of sons and daughters.

GBPH Joyokusumo
Stout in stature, humorous, and with a husky voice, Joyokusumo is the youngest son of the late KRAy Windyaningrum.

His education at the Faculty of Economics, UGM, was cut short. However, his career in the business world and youth organizations has progressed smoothly. Currently, at 33 years old, Joyo leads CV Aji Buana Perkasa, heads KNPI, and Hipmi DIY, in addition to serving as the Vice Chairman of the Regional People’s Representative Council (DPRD) in the City of Yogyakarta.

Within the palace walls, Joyo holds the position of Pengageng Tepas Widarto, overseeing the welfare of the abdi dalem. He is also entrusted with the role of “narpo cundoko” or the Sultan’s aide. As narpo cundoko, “His duty is to accompany the father in various palace activities,” he told Hedy Lugito from Tempo.

Joyo is confident that HB IX has long been contemplating the crown prince. However, he has never been involved in discussions on that matter. Last June, along with his two older brothers, Mangkubumi and Hadiwinoto, Joyo was summoned to Jakarta. “In that meeting, I was asked to search for archives related to the coronation of the crown prince,” he stated.

While the first task remains incomplete, an additional assignment has arrived. He is now tasked with finding archives related to the procession of the princes’ wedding ceremonies. “The latter is easier to find, but until now, the archives of the coronation ceremony have not been located,” he said.

Sumber : Main Report. TEMPO Magazine. Num. 34. Year. XVIII. 22 Oktober 1988.

Terima kasih sudah membaca artikel wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang dimuat di printilan.com. Artikel wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah salah satu artikel yang masuk dalam kategori arsip berita lama yang dimuat di printilan.com.

Printilan.com adalah situs web berisi informasi mengenai topik-topik seperti daerah, politik, negara, sejarah, transportasi, dan hiburan. Kami juga menampilkan arsip-arsip berita di masa lalu agar jadi jembatan wawasan bagi masa sekarang.

Info Transportasi

Transpotasi Umum

TJ •  MRT •  LRT Jakarta •  LRT Bekasi •  LRT Cibubur

KRL Commuter

Cikarang •  Bogor •  Rangkasbitung •  Tangerang  •  Tanjung Priok •  Solo-Jogja  •  Jogja-Solo

Kereta Api Jarak Jauh

A

Airlangga  Ambarawa Ekspres  Argo Bromo AnggrekArgo CheribonArgo DwipanggaArgo LawuArgo MerbabuArgo MuriaArgo ParahyanganArgo SemeruArgo SindoroArgo Wilis

B

Bangunkarta • Banyubiru • Baturraden EkspresBengawan  BimaBlambangan Ekspres • Blora Jaya  Bogowonto • Brantas • Brawijaya

C-F

Cikuray  Ciremai • Dharmawangsa • Fajar Utama Solo • Fajar Utama Yogyakarta

G-H

Gajahwong • GajayanaGayabaru Malam Selatan • Gumarang • Harina

J

Jaka Tingkir  Jayabaya • Jayakarta  Joglosemarkerto

K-L

Kahuripan  Kaligung • Kamandaka • Kertajaya  Kertanegara • Kutojaya Selatan  Kutojaya Utara • Lodaya • Logawa

M

Majapahit  Malabar • Malioboro Ekspres • ManahanMataram • Matarmaja  Menoreh • Mutiara Selatan • Mutiara Timur

P

PandalunganPangandaran • Pangrango • Papandayan • Pasundan  Probowangi • Progo • Purwojaya

R-S

RanggajatiSancaka • Sawunggalih • SembraniSenja Utama Solo • Senja Utama YogyakartaSerayu  Singasari • Sritanjung  

T-W

TaksakaTawangalun • Tawang Jaya • Tegal Bahari • Turangga • Wijayakusuma 

Fakta Daerah

Aceh • Sumut • Sumbar • Riau • Jambi • Bengkulu • Sumsel • Lampung • Kepri • Babel • Banten • DKJ • Jabar • Jateng • DIY • Jatim • Bali • NTB • NTT • Kalbar • Kalteng • Kalsel • Kaltim • Kaltara • Sulut • Sulsel • Sulteng • Sulbar • Sultra • Gorontalo • Malut • Maluku • Papua • Pabar • PBD • Pateng • Papeg • Pasel