ARSIP : Kyai Joyolalono (Djojolelono), Bupati Pertama Probolinggo

by | Jan 10, 2024 | Jawa | 0 comments

Artikel ini bercerita mengenai Kyai Joyolalono atau Djojolelono yang merupakan bupati pertama Kabupaten Probolinggo, salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Artikel ini dimuat dalam Majalah Liberty terbitan 1980 an yang menulis berita tentang Bupati Probolinggo pertama yang bernama Joyolalono atau Djojolelono. Berikut adalah teks selengkapnya :

Dalam perjanjian yang dipaksakan kepada Sunan Pakubuwono II dari Mataram, maka daerah sebelah timur Pasuruan diserahkan kepada VOC (1743). Namun kumpeni tidak banyak mengambil keuntungan dari daerah-daerah itu. Di sana masih banyak bersembunyi pejuang-pejuang yang mengganggu keberadaan VOC.

Makam Kyai Joyolalono atau Djojolelono, bupati pertama Probolinggo yang difoto sekitar 1980 an. Dokumentasi majalah Liberty
Makam Kyai Joyolalono (saat berita ini ditulis, makam masih sering dikunjungi orang utamanya pada malam Jumat Legi) DOK. LIBERTY

Oleh sebab itu, pada tahun 1746, Kumpeni/VOC mengangkat Kyai Joyolalono sebagai Bupati di Probolinggo yang saat itu bernama Banger. Dalam kedudukannya sebagai bupati, Kyai Joyolalono mendapat gelar Tumenggung, tetapi tidak pernah dipakainya. Kyai Joyolalono bahkan terkenal dengan sebutan Kanjeng Banger. Kabupatennya terletak di daerah Kebonsari (kulon) yang tidak subur dan miskin. Untuk membayar pajak/upeti kepada Kumpeni, daerah itu cuma bisa menyediakan tiga pikul padi.

Sebenarnya, VOC menempatkan Kyai Joyolalono di Probolinggo adalah untuk menghadapi seorang patih dari daerah Tengger yang bernama Panembahan Semeru atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Meru. Dalam catatan sejarah Kabupaten Prblinggo disebutkan bahwa di sekitar tahun 1723, hanya di daerah Tengger keturunan Untung Suropati masih tetap menentang Kumpeni, sementara di tempat-tempat lain di Pulau Jawa Keadaannya “sudah aman”.

Dari catatan tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa Panembahan Semeru adalah keturunan Untung Suropati yang tetap tidak mau takluk kepada VOC. Sekalipun pada umumnya sekitar tahun 1743, Kumpeni telah berhasil menguasai seluruh daerah sebelah timur Pasuruan. Nah, Kyai Joyolalono lah yang kemudian di adu domba dengan Panembahan Semeru. Memang karena licinya, Kumpeni berhasil menyulut rasa permusuhan yang berkepanjangan antara Kanjeng Banger dengan Panembahan Semeru. Pokok perselisihan adalah mengenai batas-batas daerah kekuasaan masing-masing.

Pada suatu ketika Kyai Joyolalono mengundang Panembahan Semeru untuk datang ke Desa Paras dengan maksud untuk merundingkan soal perbatasan daerah kekuasaan mereka. Tanpa rasa curiga Panembahan Semeru datang ke Desa Paras untuk memenuhi undangan tersebut dengan membawa beberapa orang pengawal. Sama sekali tak terpikir oleh Panembahan bahwa ia sedang memasuki perangkap yang sengaja dipasang oleh Kyai Joyolalono yang disutradarai VOC.

Begitu tiba Panembahan Semeru diajak duduk berdampingan dengan Kyai Joyolalono. Saat itu juga, sebelum perundingan dimulai tiba-tiba Kyai Joyolalono mencabut keris dan menikam dada Panembahan Semeru. Tentu saja Panembahan tak bisa mengelak karena memang tak mengira akan mendapat serangan yang mendadak itu. Konon sebelum ajal Panembahan Semeru Masih sempat mengeluarkan kutuknya, “Pengkhianat! Suatu saat akan datang putra mahkota dari Surabaya membalaskan sakit hatiku ini.” Lalu tewaslah Panembahan Semeru dengan dada bersimbah darah. Jenazahnya dibawa kembali ke Tengger oleh para pengawalnya dan dimakamkan di Desa Ngadisari. Makam Mbah Meru tersebut dikenal dengan nama Makam Bakalan atau Makam Kuasa.

Baca juga: Deng Xiaoping, Si Jarum Dalam Kapas

Di Desa Paras, di mana darah Panembahan Semeru tertumpah sampai saat ini masih dihormati sebagai pepunden dengan sebutan Kramat Paras, berupa batu padas (paras) yang ditumbuhi sebuah pohon beringin. Desa Paras terletak di Kecamatan Banyuanyar (Kawedanan Gending), Probolinggo

Rupanya sesudah peristiwa parah tersebut Kyai Joyolalono sangat menyesal ia sadar bahwa kumpeni telah menggunakan dirinya untuk memusuhi Panembahan Semeru dan terjebak dalam politik adu domba kompeni. Sesal Itu bisa dimengerti sebab Kyai Joyolalono adalah keturunan pejuang yang selalu gigih menentang Belanda. Kyai Joyo lalo adalah Putra Kyai Boen Jolodriyio, Patih Pasuruan.

Kyai Boen Jolodriyo yang konon orang Cina bernama Kiem Boen adalah teman Untung Suropati ketika berada dalam penjara kumpeni. Setelah lolos dari penjara  dan mengadakan perlawanan berat terhadap kumpeni Kyai Boen menjadi penasehat Untung.  Sejarah mencatat bahwa Untung Suropati yang melawan kumpeni dengan amuk-amuk suramrata jayamrata itu akhirnya berhasil menguasai Pasuruan dan sekitarnya. Lalu Untung Suropati menjadi Bupati Pasuruan dan bergelar Tumenggung Wironagoro serta Kyai Boen Jolodriyo menjadi patihnya.

Rasa sesal Kyai Joyolalono, putra Kyai Boen itu diwujudkan dalam tindakan melawan kumpeni. Untuk itu Kyai Joyolalono rela meninggalkan jabatannya dan menyingkir dari rumah kabupaten (1768). Seterusnya Kyai Joyolalono mengembara (lelono) dan berusaha terus menyusun kekuatan melawan kumpeni. Sangat besar kemungkinan nama Joyolalono diambil dari tindakan kyai yang kemudian mengembara itu, sebab tidak ada catatan sejarah yang bisa menyebutkan siapa sebenarnya nama Kyai Joyolalono yang sebenarnya.

Akhirnya Kyai Joyolalono berhasil ditangkap oleh Raden Tumenggung Joyonagoro, Bupati Probolinggo II yang terkenal dengan sebutan Kanjeng Jimat. Seperti kutuk yang dilontarkan Panembahan Semeru di saat menjelang ajalnya Kanjeng Jimat memang adalah putra Pangeran Surabaya.

Halaman tempat menyimpan keris dan benda-benda kesayangan Kyai Joyolalono atau Djojolelono, bupati pertama Probolinggo
Di halaman ini ditanam pusaka-pusaka dan benda-benda kesayangan Kyai Joyolalono. DOK. LIBERTY

Selanjutnya Kyai Joyolalono dimakamkan di Pesarean Sentono di Desa Mangunharjo, Kecamatan Kota, Probolinggo. Makam Kyai Joyolalono tersebut sampai saat ini masih terpelihara baik dan banyak dimuliakan orang pada saat-saat tertentu, terutama malam Jumat Legi masih banyak terlihat orang-orang Nyepi di makam ini dengan berbagai tujuan. Untuk Nyepi di makam itu memang tidak diperlukan keberanian khusus sebab letak makam di tengah kota dan suasananya tidak menakutkan.

Kuncup makam ditutup dengan kain putih tipis dengan 2 buah payung besar. Di dalamnya hamparan tikar disediakan oleh juru kunci di samping makam itu. Di dinding tembok sebelah kiri terdapat sebuah lemari kaca kecil tempat menyimpan pusaka-pusaka berupa garis dan ujung tombak. Beberapa pusaka yang lain menurut juru kunci dimakamkan di halaman depan dan diberi atap.

Lemari keris Kyai Joyolalono atau Djojolelono, bupati pertama Probolinggo
Lemari berisi keris dan pusaka-pusaka Kyai Jokolalono. DOK. LIBERTY

Setelah Kyai Joyolalono, bupati penggantinya adalah Raden Tumenggung Joyonagoro atau Kanjeng Jimat. Bupati II ini memerintah cukup lama yaitu dari 1768 sampai 1805 (37 tahun). Kanjeng Jimat terkenal sebagai bupati yang sholeh dan murah hati. Makamnya yang terletak di pemakaman Islam Kauman banyak dikunjungi orang juga. Konon Banyak pedagang yang berangkat ke pasar mengambil bunga-bunga di makam tersebut untuk digunakan sebagai pelaris dagangan.

Pengganti Kanjeng Jimat adalah Mayoor Han Kek Koo, yang juga mendapatkan julukan Babah Tumenggung. Bupati III Probolinggo yang juga disebut Poo Lok itu konon adalah keturunan Raja Cina. Setelah wafat Bupati III Probolinggo ini dimakamkan di Pasar Bong Surabaya. Menurut beberapa sumber, keturunan Mayor Han Kek Koo ini masih ada yang tinggal di Surabaya dan Probolinggo.

Judul Asli Majalah Liberty : Kyai Joyolalono : Bupati I Probolinggo (1746-1768)

Sumber : Majalah Liberty No. 1771 Th. XXXVII.

English text :

In the agreement forcibly imposed upon Sunan Pakubuwono II of Mataram, the eastern region of Pasuruan was ceded to the VOC (1743). Nevertheless, the company did not significantly capitalize on these regions. There, numerous insurgents remained hidden, causing disruptions to the VOC’s presence.

Hence, in 1746, the Kumpeni/VOC appointed Kyai Joyolalono as the Regent of Probolinggo, then known as Banger. Holding the position of regent, Kyai Joyolalono was bestowed with the title Tumenggung, although he never used it. He was even renowned by the moniker Kanjeng Banger. His regency was situated in the infertile and impoverished Kebonsari (west) area. To fulfill the tax/tribute obligations to the Company, the region could only provide three pikuls of rice.

Actually, VOC’s placement of Kyai Joyolalono in Probolinggo was to confront a regent from the Tengger region named Panembahan Semeru, more commonly known as Mbah Meru. Historical records of Probolinggo Regency state that around 1723, only in the Tengger region did descendants of Untung Suropati persist in opposition against the Company, while elsewhere on Java Island, the situation was deemed “secure.”

From those records, it can be concluded that Panembahan Semeru was a descendant of Untung Suropati who remained reluctant to submit to the VOC. Even though generally around 1743, the Company had succeeded in dominating the entire eastern region of Pasuruan. Now, Kyai Joyolalono was the one who was subsequently pitted against Panembahan Semeru. Indeed, due to manipulation, the Company managed to incite prolonged animosity between Kanjeng Banger and Panembahan Semeru. The root of their dispute revolved around the boundaries of their respective areas of authority.

At one point, Kyai Joyolalono invited Panembahan Semeru to come to Paras Village with the intention of discussing the issue of their territorial boundaries. Unwary, Panembahan Semeru attended the invitation to Paras Village, accompanied by several guards. It never crossed Panembahan’s mind that he was walking into a trap deliberately set by Kyai Joyolalono orchestrated by the VOC.

Upon Panembahan Semeru’s arrival, he was invited to sit alongside Kyai Joyolalono. At that very moment, before negotiations began, Kyai Joyolalono suddenly drew his keris and stabbed Panembahan Semeru in the chest. Naturally, Panembahan couldn’t evade the attack as he never anticipated such a sudden assault. Reportedly, before his demise, Panembahan Semeru uttered a curse, “Traitor! Someday, a crown prince from Surabaya will avenge this pain.” And so, Panembahan Semeru passed away, his chest drenched in blood. His body was then taken back to Tengger by his guards and buried in Ngadisari Village. The tomb of Mbah Meru is known as the Bakalan Tomb or Kuasa Tomb.

In Paras Village, where Panembahan Semeru’s blood was spilled, it is still revered to this day as a sacred site, referred to as Kramat Paras. It is marked by a paras stone (padas) adorned with a banyan tree. Paras Village is located in Banyuanyar Subdistrict (Kawedanan Gending), Probolinggo.

Evidently, following this grave incident, Kyai Joyolalono deeply regretted his involvement. He realized that the Company had utilized him to instigate enmity against Panembahan Semeru, entrapping him in the Company’s divisive politics. His regret is understandable as Kyai Joyolalono hailed from a lineage of fighters who persistently opposed the Dutch. Kyai Joyolalono was the son of Kyai Boen Jolodriyio, the patih of Pasuruan.

Kyai Boen Jolodriyo, reportedly a Chinese man named Kiem Boen, was Untung Suropati’s friend during their time in the Company’s prison. After escaping from prison and mounting heavy resistance against the Company, Kyai Boen became Untung’s advisor. Historical records note that Untung Suropati, who fiercely opposed the Company with vehement upheaval, eventually gained control over Pasuruan and its vicinity. Subsequently, Untung Suropati became the Regent of Pasuruan, bearing the title Tumenggung Wironagoro, and Kyai Boen Jolodriyo became his regent.

Kyai Joyolalono, the son of Kyai Boen, expressed his regret through actions against the Company. For this reason, Kyai Joyolalono was willing to relinquish his position and depart from the regency seat (1768). Afterward, Kyai Joyolalono roamed (lelono) and continuously endeavored to gather strength against the Company. The name “Joyolalono” likely arose from Kyai’s subsequent wandering, as historical records do not specify the true name of Kyai Joyolalono.

Eventually, Kyai Joyolalono was apprehended by Raden Tumenggung Joyonagoro, the second Regent of Probolinggo, renowned as Kanjeng Jimat. Just as Panembahan Semeru had uttered his curse before his demise, Kanjeng Jimat was indeed the son of Prince Surabaya.

Following this, Kyai Joyolalono was buried in Pesarean Sentono in Mangunharjo Village, Kota Subdistrict, Probolinggo. His tomb remains well-preserved to this day and is honored by many at certain times, especially on Friday Legi nights, where Nyepi are observed at this tomb for various purposes. Courage is not required to observe Nyepi at this tomb as its location is in the middle of the city and the atmosphere is not intimidating.

The bud of the tomb is covered with a thin white cloth and two large umbrellas. Inside, a spread of mats is provided by the caretaker next to the tomb. On the left wall, there’s a small glass cabinet storing relics such as spearheads and the tips of spears. According to the caretaker, several other relics are buried in the front yard and covered with a roof.

After Kyai Joyolalono, his successor was Raden Tumenggung Joyonagoro or Kanjeng Jimat. He served as the second regent for a considerable period, from 1768 to 1805 (37 years). Kanjeng Jimat was renowned for his piety and generosity. His tomb, located in the Islamic cemetery of Kauman, is also frequently visited by people. It is said that many traders set off for the market after taking flowers from his tomb to use as charms.

Kanjeng Jimat was succeeded by Mayoor Han Kek Koo, also known as Babah Tumenggung. The third Regent of Probolinggo, also referred to as Poo Lok, was reportedly a descendant of the Chinese King. After his passing, the third Regent of Probolinggo was buried in Pasar Bong, Surabaya. According to some sources, descendants of Mayor Han Kek Koo still reside in Surabaya and Probolinggo.

Source : Liberty Magazine Num. 1771 Years XXXVII.

Terima kasih sudah membaca artikel Djojolelono bupati pertama probolinggo yang dimuat di printilan.com. Djojolelono adalah bupati pertama Probolinggo, salah satu kabupaten di Jawa Timur. Artikel Djojolelono Bupati Pertama Probolinggo adalah salah satu artikel yang masuk dalam kategori arsip berita lama yang dimuat di printilan.com.

Tags : djojolelono bupati pertama probolinggo, kyai boen djolodrijo, untung surapati, temenggung wironagoro pasuruan, sejarah bupati kolonial belanda

Printilan.com adalah situs web berisi informasi mengenai topik-topik seperti daerah, politik, negara, sejarah, transportasi, dan hiburan. Kami juga menampilkan arsip-arsip berita di masa lalu agar jadi jembatan wawasan bagi masa sekarang.

Info Transportasi

Transpotasi Umum

TJ •  MRT •  LRT Jakarta •  LRT Bekasi •  LRT Cibubur

KRL Commuter

Cikarang •  Bogor •  Rangkasbitung •  Tangerang  •  Tanjung Priok •  Solo-Jogja  •  Jogja-Solo

Kereta Api Jarak Jauh

A

Airlangga  Ambarawa Ekspres  Argo Bromo AnggrekArgo CheribonArgo DwipanggaArgo LawuArgo MerbabuArgo MuriaArgo ParahyanganArgo SemeruArgo SindoroArgo Wilis

B

Bangunkarta • Banyubiru • Baturraden EkspresBengawan  BimaBlambangan Ekspres • Blora Jaya  Bogowonto • Brantas • Brawijaya

C-F

Cikuray  Ciremai • Dharmawangsa • Fajar Utama Solo • Fajar Utama Yogyakarta

G-H

Gajahwong • GajayanaGayabaru Malam Selatan • Gumarang • Harina

J

Jaka Tingkir  Jayabaya • Jayakarta  Joglosemarkerto

K-L

Kahuripan  Kaligung • Kamandaka • Kertajaya  Kertanegara • Kutojaya Selatan  Kutojaya Utara • Lodaya • Logawa

M

Majapahit  Malabar • Malioboro Ekspres • ManahanMataram • Matarmaja  Menoreh • Mutiara Selatan • Mutiara Timur

P

PandalunganPangandaran • Pangrango • Papandayan • Pasundan  Probowangi • Progo • Purwojaya

R-S

RanggajatiSancaka • Sawunggalih • SembraniSenja Utama Solo • Senja Utama YogyakartaSerayu  Singasari • Sritanjung  

T-W

TaksakaTawangalun • Tawang Jaya • Tegal Bahari • Turangga • Wijayakusuma 

Fakta Daerah

Aceh • Sumut • Sumbar • Riau • Jambi • Bengkulu • Sumsel • Lampung • Kepri • Babel • Banten • DKJ • Jabar • Jateng • DIY • Jatim • Bali • NTB • NTT • Kalbar • Kalteng • Kalsel • Kaltim • Kaltara • Sulut • Sulsel • Sulteng • Sulbar • Sultra • Gorontalo • Malut • Maluku • Papua • Pabar • PBD • Pateng • Papeg • Pasel